O.

3.1K 347 60
                                    

Gio nggak habis pikir, belakangan ini intensitas pertemuannya dengan adik tingkatnya itu semakin sering. Yang dulunya mungkin cuma sekali atau pun dua kali bahkan nggak pernah sama sekali, entah kenapa sekarang bisa melebihi dari sehari tiga kali. Nyaris seperti orang minum obat.

Rasanya ingin sekali Gio mengacak rambutnya frustasi, saking gregetannya sama tingkah sosok yang lebih muda itu.

Gregetan disini maksudnya itu sebel, kesel, jengah. Pokoknya berkonotasi negatif. Bukan, semacam yang menggemaskan gitu.

Sebenarnya Dimas Dimas ini ada masalah apa sih sama dia?

"Gio…"

"Apa lagi?"

Wajar aja kalau Gio menanggapinya ketus, pasalnya Dimas sudah menghambat waktu istirahatnya tersebut.

Nggak tau apa kalau cacing diperutnya itu udah pada meraung kelaparan?

Iya, soalnya hampir sekitar sepuluh menit dia di tahan oleh pemuda tinggi berlesung pipi itu.

Nyebelin, kan?

Huftt…

Dan seharusnya Dimas itu marah lantaran mendapatkan respon yang kurang baik dari kakak tingkatnya, namun anehnya pemuda jurusan management tersebut malah memasang senyum manisnya.

Aneh.

Sangat sangat sangat aneh.

"Gue cuma mau ngajak lo makan siang kok, mau ya?"

Lagi, untuk kesekian kalinya Dimas mengajaknya untuk sekedar makan siang. Sepertinya yang lebih muda masih berusaha keras untuk sekedar makan siang bersama dengan dirinya.

"Harus berapa kali aku bilang sih, kalau aku tuh bawa bekal, Dims."

Dan lagi, untuk kesekian kalinya juga sang playboy kampus itu tetap mendapatkan penolakan.

"Bisa makan di kantin, kan?"

Gio menghela napasnya dari balik maskernya.

Tipikal Dimas itu keras kepala. Orangnya tuh kaya semakin di tolak ya semakin kekeuh aja gitu.

Sabar Gio…

"Aku gak suka makan di kantin."

"Yaudah kalau gitu kita makan di luar aja yuk?"

Sumpah, apa perkataannya itu masih kurang jelas ya? Kan dia tuh udah bilang kalau…

"Aku bawa bekal, Dims. Itu artinya aku gak mau makan di kantin ataupun di luar.."

Yang lebih muda seakan nggak mendengar penjelasan dari Gio, dengan kata lain masa bodo, kemudian seenaknya menarik lengan sosok yang lebih kecil di hadapannya begitu aja.

Logikanya berkata, semisalnya secara pelan-pelan nggak bisa juga. Berarti dia harus sedikit melakukan pemaksaan, bukan?

"Apaan sih! Aku gak mau ya, Dims…"

Kakak tingkatnya itu meronta, berusaha melepaskan pegangan tangan Dimas yang agak susah di singkirkan.

Terlalu kuat.

"Kali ini aja, plis…"

Dari perkataannya sih seperti orang yang memohon, tapi kalau dari nadanya sih cukup terdengar mutlak. Definisi dari memaksa yang sebenarnya.

Mau nggak mau, kakak tingkatnya itu harus nurut.

"Lepasin!", kepalang panik, Gio semakin berusaha untuk melepaskan dirinya dari adik tingkatnya tersebut.

Really Bad BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang