Sampailah pada malam puncak perkemahan yang biasa akan diadakan penampilan diiringi dengan api unggun. Semuanya sudah siap dan berjalan ketengah-tengah perkemahan—yang dibiarkan kosong untuk penampilan api unggun.
Amara, Ana, dan Nabila sedang menunggu Riska yang katanya sedang mencari jaket.
“Riska, buruan. Lo nyari apa sih?! Lama banget.” Ana berteriak tapi tidak terlalu keras.
“Iya, bentar. Jaket gue belum ketemu.”
Ana berdecak. “Nggak usah pake jaket aja. Lo lama nyarinya. Udah pada kumpul nih.”
“Diluar dingin. Nanti gue sakit, yang repot siapa?”
Nabila melihat wajah kesal Ana. Ia menghela nafasnya. Satu yang ia benci dari sifat Ana, tidak sabaran. “Kalian duluan aja. Biar gue yang nungguin Riska.”
“Memang, ya, Riska selalu ceroboh. Yaudah deh, kita duluan.” Amara pergi bersama Ana.
Nabila menatap mereka hingga mereka tidak terlihat lagi oleh indra penglihatannya. Nabila memasuki tenda, ia melihat Riska yang sedang membongkar tasnya.
“Belum ketemu?”
Riska menoleh, lalu menggelengkan kepalanya. “Belum. Padahal gue inget banget, tadi pagi jaket gue udah dimasukin kedalam tas. Tapi gak ada, ya.” ucap Riska sambil membereskan pakaian yang tadi diberantakinya.
Nabila melihat ke pojok tenda. Ia berjalan ke pojok dan mengambil sesuatu.
Sebuah jaket.
Nabila mendekati Riska dan menyerahkan jaket itu kepada Riska itu. “Jaket lo.”
Riska melihat jaket yang ada ditangan Nabila. Ia mengambilnya. “Wah.. Thanks, ya. Ini jaket kesayangan gue, kalau hilang pasti gue sedih banget.”
“Makanya jangan ceroboh! Cepetan acaranya udah dimulai.”
–AMARA–
“Kalian tumben berdua aja. Riska sama Nabila, mana?” Rizki bertanya ketika mereka bertemu dijalan.
“Nabila nungguin Riska.” jawab Amara.
“Memang Riska kenapa?” tanya Rizki lagi.
“Banyak tanya lo! Pacar lo itu naruh jaket sembarangan. Makanya dia cari.” sahut Ana dengan nada judes.
“Pacar? Riska bukan pacar gue!”
Saat Ana akan menjawabnya. Amara memegang tangan Ana seperti menyuruh agar Ana tidak menyahuti perkataan Rizki.
“Kaki lo udah gak sakit lagi.”
Ana yang tadi memandang Rizki tajam, mengalihkan pandangannya kepada Adit. Ia tersenyum, “Udah enggak kok. Nih buktinya kaki gue bisa buat jalan.”
“Syukur deh kalau begitu.”
Adit mengalihkan pandangannya ke arah Amara. Ia melihat Amara yang cemberut. “Ra,”
“Iya,” Amara menatap Adit dan tersenyum.
“Tadi Pak Anto bilang, kalau kita harus tampil di api unggun.”
Amara membulatkan matanya. “Kok mendadak?”
Adit mengangkat bahunya, “Nanti lo nyanyi gue yang main gitar.”
“Yaudah, gue setuju aja.”
Mereka mengobrol tanpa melihat bahwa Ana dan Rizki saling menatap sinis satu sama lain.
—AMARA—
Rangkain acara telah selesai dengan baik. Kini tiba saatnya dipenghujung acara. Amara akan bernyanyi dengan Adit yang bermain gitar.
“Tidak terasa kita sudah sampai dipenghujung acara. Dan besok, kita bersiap untuk kembali ke rumah masing-masing. Satu penampilan lagi untuk menghibur kita malam ini. Kita panggil Adit dan Amara.” ucap Pak Anto sekaligus panita dalam perkemahan ini.
Amara dan Adit maju kedepan. “Oke, kali ini gue akan membawa lagu yang berjudul sahabat jadi cinta. Gue nyanyi ini bukan bermaksud apa-apa. Tapi gue cuma mau menghibur kalian yang berada ditengah-tengah kata friend zone.”
***
Mike mohede—sahabat jadi cinta.
Bulan terdampar dipelataran
Hati yang temaram
Matamu juga mata-mataku
Ada hasrat yang mungkin terlarangSatu kata yang sulit terucap
Hingga batinku tersiksa
Tuhan tolong aku jelaskanlah
Perasaanku berubah jadi cintaTak bisa hatiku manafikkan cinta
Karena cinta tersirat bukan tersurat
Meski bibirku terus berkata tidak
Mataku terus pancarkan sinarnya...***
Semuanya bertepuk tangan ketika Amara menyelesaikan lagunya dengan baik.
Amara dan Adit kembali ketempatnya.
“Itu dia penampilan terakhir pada malam ini. Kalian boleh kembali ke tenda dan beristirahat.”
Semuanya kembali ke tenda masing-masing sesuai arahan dari pak Anto.
–AMARA–
Adit dan Rizki sudah berada didalam tenda. Mereka merebahkan dirinya membelakangi satu sama lain.
Rizki membalikkan badannya menjadi terlentang. “Adit. Lo udah tidur?”
Hanya deheman tidak jelas yang didapat Rizki.
“Adit, bangun!” Rizki menggoyangkan tubuh Adit.
Adit membuka matanya, “Apa sih?!”
“Lo ngerasa gak? Tadi waktu lo tampil sama Amara. Amara ngeliat lo dalem banget, kayaknya dia suka deh sama lo.”
“Apa sih?! Lo kalau ngomong ada-ada aja. Tapikan Ara udah bilang, kalau dia nyanyi lagu itu gak ada maksud apa-apa. Udahlah gak usah pikirin itu.” Adit memejamkan matanya dan terlelap kembali.
“Dit, Adit. Yee.. Dibilangin gak percaya.” Rizki mencoba memejamkan matanya.
Seharusnya untuk seumuran Adit, sudah bisa membedakan mana yang mencintai dan mana yang tidak mencintai. Hanya ada dua kemungkinan. Adit memang benar-benar tidak tahu atau.. Pura-pura tidak tahu? Entahlah.
Bersambung...
Lagi suka nulis aja, makanya sering update. Kalau udah males, pasti cerita ini dianggurin begitu saja.
Bantu vote dan comment. Jangan jadi sider.
281219
KAMU SEDANG MEMBACA
AMARA
Teen FictionAku tidak menyadari, jika aku mencintaimu sejak awal kita bertemu. Kini aku baru menyadarinya, setelah kau bilang bahwa kau mencintai sahabatku. Aku tahu, jika sahabatku juga mencintaimu. Persahabatanku hancur karena sahabatku yang lain juga mencint...