Matahari sudah menampakkan wujudnya sedikit demi sedikit. Sama halnya dengan peserta perkemahan yang sudah bangun untuk melakukan aktivitas selanjutnya.
Amara, Ana, Nabila, dan Riska duduk didepan tendanya. Mereka sedang memakan makanannya sambil bercerita.
“Habis ini pulang ‘kan?” tanya Amara.
Ana dan Riska mengangguk. “Tapi, kalau lo mau disini aja juga gak masalah.” canda Riska.
“Lo aja yang disini, gue mah ogah.” ujar Amara.
Pak Anto memberikan arahan agar peserta perkemahan berkumpul. Guru yang ikut dalam perkemahan kali ini, hanya ada dua. Pak Anto dan kepala sekolah.
“Selamat pagi.” ucap kepala sekolah ketika semua sudah berkumpul.
“Selamat pagi, Pak.”
“Tidak terasa hari ini, hari terakhir kita berkemah. Gimana selama dua hari disini? Senang? Menikmati? Saya harap kalian merasa senang dan terhibur. Seperti sebuah tradisi sekolah kita selalu melaksanakan perkemahan diawal pelajaran baru. Perkemahan ini diadakan agar kita semangat untuk mengikuti pelajaran. Terlebih lagi untuk kelas dua belas yang akan menghadapi ujian.”
“Setelah ini, kalian mengemasi barang-barang kalian dan melipat tendanya kembali. Mungkin hanya itu saja yang saya dapat ucapkan.”
Semua peserta perkemahan mulai merebahkan tenda dan melipatnya.
-AMARA-
Setelah perkemahan kemarin, para siswa dan siswi sudah mulai beraktivitas seperti biasa. Hari ini, hari minggu yang berarti mereka libur sekolah.
Mereka duduk dicafe di salah satu mall. Mereka bercerita dengan bercanda. Hingga Ana berbicara,
“Emm... gue mau ngomong tentang perasaan gue. Tapi kalian janji, ya, gak akan ngasih tau ke siapa-siapa.” ucap Ana menatap mereka satu persatu dengan serius.
Nabila menegang, ia memperhatikan raut wajah Amara dan Riska—yang terkesan penasaran dengan cerita Amara.
“Gue sebenarnya suka sama...”
“Sama siapa, Ana? Ngomong gitu aja juga lama.” ucap Riska yang sudah sangat penasaran.
“Gue suka sama Adit.”
Deg!
Nabila tidak peduli dengan ucapan Ana. Ia lebih memperhatikan raut wajah Riska yang seperti marah, tapi Riska langsung merubah raut wajahnya. Berbeda dengan Amara, ia tetap tenang. Tapi, ia sesekali-kali meminum minuman yang tadi Amara pesan. Nabila sudah menduga hal ini akan terjadi. Menurut Nabila, ini yang terbaik.
“Kok pada diam. Gak ada yang mau kasih tanggapan atau saran gitu.” ucap Ana menatap mereka aneh.
Amara tersenyum. Nabila tahu Amara tersenyum dengan terpaksa. “Terus kita harus apa? Kita cuma bisa doain lo. Semoga Adit bisa bales cinta lo.”
Amara melihat jam ditangannya. “Kayaknya gue harus pulang deh, soalnya hari ini saudara gue pada datang kerumah gue. Gue pulang dulu, ya. Bye.”
Amara bukan perempuan lemah. Ia tidak akan menangis hanya karena ini. Amara jujur, saudaranya memang ada dirumah. Yang diucapkan Amara bukan hanya sebuah alasan semata, tapi itu benar adanya.
Ana menatap aneh Amara. Ana menoleh, saat mendengar suara kursi didorong. Ia menatap Riska.
“Gue juga harus pulang, udah ada janji sama Mami.” Riska bergegas pergi dari sana.
Ana menatap Nabila, “Ada yang salah, ya? Gue suka sama Adit. Kenapa mereka pada pergi setelah gue bilang gue suka Adit?”
Nabila menghembuskan nafasnya. “Lo gak salah. Lo berhak suka dengan siapapun, itu hak lo. Lo bilang begitu juga, karena ucapan gue waktu itu. Lebih baik lo ucapan diawal daripada diakhir.”
“Mereka pergi juga karena ada urusan penting. Jadi, lo gak usah berpikir negatif dulu.”
“Tapi, gue takut mereka marah sama gue.” Ana memandang Nabila dengan kosong.
Nabila berdiri, “Balik! Jangan berpikir terlalu keras tentang ini. Mereka gak marah sama lo, besok juga bakal seperti semula lagi keadaannya.”
Mereka pergi meninggalkan cafe yang menjadi awal dari segalanya.
Bersambung...
Males deh, panjang-panjang nulis tapi gak ada yang nge-vote.
311219
KAMU SEDANG MEMBACA
AMARA
Teen FictionAku tidak menyadari, jika aku mencintaimu sejak awal kita bertemu. Kini aku baru menyadarinya, setelah kau bilang bahwa kau mencintai sahabatku. Aku tahu, jika sahabatku juga mencintaimu. Persahabatanku hancur karena sahabatku yang lain juga mencint...