04 - Gadis Penolong

408 34 0
                                    

"Ternyata, alur kehidupan terkadang mampu membawa kembali hal yang dulunya selalu disemogakan dalam doa."

-Kau, Imam Terbaik-

•••

"Assalamualaikum, Tante." Dari luar terdengar suara seorang gadis yang menyahuti. Tentu, pemilik rumah atau istri dari keluarga Hermawan mengenal dengan baik suara itu.

Dengan terburu-buru, Anita yang sedang sibuk bergulat dengan majalah di ruang tengah berdiri dan segera membuka pintu yang telah berulang kali diketuk tadi.

"Wa'alaikumussalam. Lia, kenapa? Tumben ke sini?" jawab Anita sekaligus bertanya ketika daun pintu yang telah terbuka setengah, menampakkan Lia—anak dari adiknya—berdiri sedangkan di tangannya memegang sebuah kresek hitam di sana.

Lia tidak langsung menjawab, melainkan mengambil lebih dulu tangan Anita dan menciumnya singkat.

"Tadi mama yang suruh ke sini. Soalnya buat bawain ini." Gadis itu memberikan kresek hitam yang dibawahnya tadi kepada Anita.

Anita menerimanya dan menggeledah apa yang dibawah keponakannya itu. "Kue, ya? Kapan tuh mama kamu bikin kue ini? Biasanya, kan, selalu bilang."

"Tadi, Tante. Sebenarnya ini kuenya tadi cuma buat Lia, soalnya maksa mama buat bikin karena laper dari sekolah, tapi mama kebiasaan kalau bikin sesuatu pasti gak bisa sedikit. Harus banyak," jelas Lia, membuat Anita mengangguk-anggukkan kepala.

"Owalah. Yaudah, ayo masuk dulu. Tante juga ada yang mau dikasih ke mama kamu," timpal Anita, memberi ruang keponakannya itu untuk masuk.

Lia segera mengangguk dan melangkahkan kaki ke dalam rumah keluarga Fandy. Namun, saat berada persis di sebelah meja televisi, dia salah fokus ketika melihat Fandy yang baru muncul dari arah dapur.

"Kak Fandy? Ya ampun, brantem lagi, ya, ini?" tebaknya, memerhatikan luka lebam yang menghiasi wajah lelaki itu. Namun, Fandy tampaknya biasa saja.

"Yaelah kayak gak biasa aja," katanya sembari duduk di sofa, mengeluarkan ponselnya dan bermain game yang ada di sana tanpa memperdulikan luka yang baru dia dapat.

"Iya, sih, Kak. Tapi gak harus setiap saat juga. Kak Fandy harus jaga badan." Lia sungguh tidak habis pikir.

Karena ini bukan sekali atau dua kali terjadi, hampir setiap pulang sekolah Fandy nyatanya selalu  membawa luka di tubuhnya. Entah itu di wajah atau di bagian tubuh lainnya, membuat semua orang rumah termasuk Anita sering menaruh khawatir berlebih terhadap anak bungsunya itu.

"Iya, Nak. Tante juga heran, sebenarnya Fandy brantem sama siapa, sih? Kok bisa setiap hari gitu," tambah Anita. Lia mengangkat kedua bahu samar.

"Lia juga gak tau pasti, Tante, tapi mungkin sama anak sekolah lain kali. Ya, soalnya di kelasnya gak ada yang punya dendam sama Kak Fandy." Dia berucap, sesekali melirik Fandy yang kini memutar bola mata.

Anita menghela. "Mungkin aja, ya. Soalnya anaknya gak mau cerita tuh."

Ucapan Anita yang kini seolah menyinggung Fandy, membuat Lia hanya mampu menahan tawa. Apalagi ketika melihat Fandy pun kini hanya mampu menekuk wajah tatkala ingin membalas ucapan Anita. Namun, sang Mama terlebih dulu melenggang menuju dapur.

"Eh Lia, kapan datangnya, nih?" Fani yang baru saja keluar dari kamarnya, menyahuti. Langsung sukses mengalihkan atensi Lia kepadanya.

"Kak Faniiii." Dia berjalan cepat menghampiri dan tanpa aba-aba langsung memeluk Fani. "Baru aja, Kak. Kangen banget," ucapnya. Setelah pelukan itu lepas, dia mencium punggung tangan kakak sepupunya itu.

Kau, Imam Terbaik (re-published)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang