Chapter 9 : One Last Night

120 22 1
                                    

Pada akhirnya, keduanya saling berdiam diri. Duduk bermenit-menit di seliri halaman rumah, namun tak ada yang mampu bicara barang satu kat pun. Tak ada yang bertukar cerita seperti biasa. Tak ada yang berbagi rasa lewat kisah-kisah yang lalu.

Semuanya jadi terasa asing.

Hana memilih bungkam. Tak berucap apa-apa. Pikirannya berkeliaran. Nyaris satu bulan ia kenal dan dekat dengan Sungyoon, dan selama itu juga ia mulai yakin dengan perasaannya sendiri. Bahkan malam-malam lalunya berlalu dengan kenangan indah. Cintanya tak pernah bertepuk sebelah tangan.

Rembulan benderang di gulitanya malam. Suara-suara binatang menjadi latar belakang yang menghiasi suasana. Desir angin menyapa lembut di tiap pori kulit. Membawa kesejukan abadi. Sebuah lampu lentera berdiri di indahnya hari.

"Kamu dengar semuanya?"

Soal pindah itu? "Iya. Maaf aku menguping."

Benar. Sungyoon menghela napas panjang. Lantas tanpa pikir panjang, dicarinya tangan Hana yang sedari tasi menggenggam erat tepian kursi. Menangkupnya dari terpaan angin dingin. "Kamu menyembunyikan sesuatu dariku?"

Kepala Hana menoleh. Menatap lembut ke arah pemilik surai hitam legam itu. "Bukannya kamu yang sembunyikan sesuatu dari aku?"

Ia tertegun. Hana menekan suaranya. Nada bicara yang selama ini ia dengar selalu lembut, kini berubah jadi lebih dalam. Menusuk tepat di hatinya.

"Maaf," ucapnya lirih.

Sungyoon harusnya sadar. Bahwa selama ini ia yang tak terbuka. Membiarkan Hana berharap tanpa tahu bahwa itulah yang membuatnya menangis malam ini. Sungyoon sudah tidak jujur. Soal ia akan pindah dan meninggalkan Hana seorang diri.

Selama ini, dirinya yang salah. Iya. Kau bodoh, Sungyoon. Berani-beraninya membuat Hana menangis karena ulah bodohmu.

Sesaat, ia lihat ada bekas aliran tangias di pipi Hana. Perasaannya campur aduk. Sesulit inikah merasa jatuh cinta? Tapi haruskah berakhir seperti ini?

"Jangan tinggalkan mimpimu hanya karena aku. Kamu harus mengejarnya. Jadilah pelari nasional, dan buat negeri ini bangga dengan kamu." Bibir Hana bergetar. Sepasang matanya berkaca-kaca. Hendak meluruhkan air mata lagi.

"Aku baik-baik saja, tak apa. Kejar cita-citamu sejauh apapun itu. Begitu kamu berhasil, jangan lupa untuk kembali."

* * *

Sekiranya, Hana sudah tenang. Walau begitu, suasana tak kunjung membaik. Tetap sama, lengang beberapa saat setelah tak ada lagi yang bisa diuucapkan. Sungyoon meminta Hana untuk tinggal lebih lama. Menikmati waktu terakhir sebelum Sungyoon tak lagi ada di sisinya.

Sejak awal, mungkin semesta memang tidak mengizinkan Hana untuk bertahan lebih lama dengan sang kasih. Tidak. Hana harus kuat. Ia masih bisa berdiri, sambil menatap sebuah harapan baru. Sungyoon pasti akan kembali.

Jadi tunggu saja. Dan saat itu, semua hal yang menyakitkan akan menjadi akhir yang bahagia.

"Ingat kejadian di stasiun kereta Busan?"

Sungyoon menoleh. Entah apa yang maksud Hana kembali menyinggung masalah lama itu. "Aku ingat. Kenapa?"

"Di sana tempat pertama kali kita bertemu," jawab Hana lemah. "Kamu yang buru-buru, dan aku yang melamun. Kamu menabrakku, bahkan menumpahkan setengah dari minumanku. Dan kamu berikan ini."

Hana membuka tas selempang yang dipakainya. Mengeluarkan sebuah saputangan putih dan menyerahkannya pada Sungyoon. Sebuah benda yang tanpa sadar mengikat takdirnya, lewat tabrakan kecil di stasiun kereta kala itu.

"Sejak pertemuan itu, aku mulai ragu. Perasaanku jadi aneh, selalu berdebar tiap kali kita bicara. Terima kasih karena sudah mengingat tabrakan itu. Kamu mengajakku bicara di supermarket tempatku kerja, dan aku sangat senang."

Lengang sejenak. Hana mengangkat wajahnya. Menatap langit yang penuh kerlip bintang dan terangnya kilau bulan. Senyum tipis ia ukir di bibir merah pucatnya.

"Lalu di pasar malam. Aku sungguh bahagia, karena akhirnya perasaanku terbalas. Aku menyukaimu, Sungyoon. Sejak awal. Aku selalu berharap bisa selalu bersamamu. Tapi aku pikir, itu tidak bisa."

"Hana...."

"Jika kini bersamamu hanya sebatas fantasi, mungkin memilikimu juga hanya sebatas ilusi." []

[✓] FantasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang