Chapter 1 : They're Same People

211 27 8
                                    

Hana menghembuskan napas panjang. Memaksa anakan poni melayang-layang kecil. Walau cuma duduk selama di perjalanan, tetap saja melelahkan. Belum lagi Hana harus mencari tumpangan taksi untuk mengantarkannya ke apartemen sederhana yang ia sewa selama tinggal di Seoul.

Sisa-sisa liburan ia habiskan untuk beristirahat. Bahkan ia enggan diajak jalan-jalan oleh Eunbin saking lelahnya. Terpaksa remaja itu harus menemui Hana sendiri dan mengobrol-ngobrol santai saja di apartemen.

Seninnya, tahun ajaran baru dimulai. Tahun terakhir di sekolah menengah atas. Hana tak punya waktu untuk bersantai-santai lagi. Tidak lagi, karena universitas sudah menunggunya kehadirannya!

"HANA!"

Remaja itu membalikkan tubuhnya. Senyumnya merekah senang bercampur malu. Dari ujung gerbang masuk, Eunbin melambai-lambaikan tangannya seperti sudah lama tak jumpa. Padahal kemarin juga baru bertemu.

Pelukan erat kembali tak terelakkan. Sama seperti beberapa siswa yang lewat juga, mungkin mereka tak sempat bertemu waktu liburan seperti Hana dan Eunbin? Entahlah. Liburan selama hampir setengah bulan itu Hana habiskan dengan membantu ibunya mengurus kafe milik pamannya di pusat kota Busan.

Mereka berdua berjalan menuju kelas. Merangkul satu sama lain, dengan canda dan tawa yang jadi teman selama perjalanan ke ruang kelas baru. Barangkali telinganya yang sedemikian peka, rasanya Hana menangkap sayup-sayup siswi meneriaki sebuah nama. Minatnya teralihkan--lebih seru ketimbang mendengar liburan mewah ala Eunbin yang baru kembali dari Jepang.

Berseling beberapa ruangan dari kelasnya, tampak pemuda tiba dengan ransel hitam yang menggantung di kedua bahunya. Pemuda itu tak tersenyum, namun dengan jelas membuat gadis-gadis mati kepanasan karena melihat pemuda yang teramat tampan di hadapan. Wajah-wajah yang bersemu merah.

Matanya yang salah atau apa, namun Hana tak pernah salah dengan ingatannya. Pemuda itu, si topi biru dari stasiun kereta Busan.

* * *

"Hana, ayo cepat ke lapangan!"

Seruan Eunbin memekik pendengaran seisi kelas. Anggota klub vokal yang berperan sebagai center itu, kadang-kadang gemar membuat satu kelas kesakitan telinganya sebab tak henti ia berlatih dan berlatih.

Namun sisi baiknya, yang namanya Park Eunbin itu terkenal sepenjuru sekolah. Jangan tanya sudah berapa kali piala yang ia sumbangkan hasil dari lomba bernyanyi sejak kelas sepuluh lalu.

Jam pelajaran pertama di hari pertama tahun ajaran baru adalah olahraga. Setelah dapat jadwal malam senin dari wali kelas sebelumnya, Eunbin langsung misuh-misuh tak jelas, mengutarakan isi hatinya. "Ini musim panas, oke? Harus, banget gitu langsung ke lapangan?" Setidaknya itulah yang Hana tangkap sebelum sumpah serapah lainnya terucap.

Alhasil, ia berlari kecil ke tempat Eunbin yang sudah menunggu di depan pintu kelas. Hana hampir saja kehilangan karet gelang untung mengikat rambutnya. Diingat-ingat guru olahraganya masih sama, kemungkinan besar Hana akan kena sembur karena rambut hitamnya tak terikat rapi.

Tak berselang lama, seisi rekannya tiba dan sudah berbaris di lapangan. Anehnya, guru itu bukan seperti Pak Kang--guru olahraga Hana yang seharusnya.

"Perkenalkan, kalian bisa panggil diriku Pak Kim, dan aku guru olahraga yang lain. Berhubung Pak Kang tidak bisa hadir hari ini, jadi dua kelas ini akan digabung menjadi satu. Nah, materi kita kali ini adalah atletik, spesifiknya adalah lari--"

Tak tahan, Eunbin mendekatkan mulutnya. Berbisik pada Hana. "Tolong jauhkan aku dari guru seperti dia. Korea sedang panas, heol. Bisa-bisanya dia mengambil materi atletik disaat seperti ini."

Hana terkekeh pelan. Menahan tawa. "Sudahlah, maklumi saja. Dia sudah tua."

"Tua atau muda intinya dia membuat siswa membenci dirinya. Jadi maaf saja kalau aku keceplosan menyumpahinya." Eunbin terus berbisik, mengucapkan hal yang bertolak belakang dengan materi yang disampaikan Pak Kim. Bahkan Eunbin sampai meniru gaya bicara guru itu--mohon jangan untuk ditiru.

Beberapa menit dihabiskan dengan penjelasan materi singkat yang dijelaskan oleh Pak Kim. Dua kelas berbeda namun seangkatan itu bercampur jadi satu. Acara kenal-kenalan pun tak luput dilakukan, walaupun ada sebagian yang memang sudah kenal lewat hubungan kegiatan ekstrakurikuler.

"Bagaimana kalau kita mulai praktik?" tawar Pak Kim. Ada yang menyuarakan ketidaksetujuan, namun anak laki-laki lebih mendukung praktik karena kebanyakan mereka gemar olahraga langsung. "Nah, kamu!" tunjuk Pak Kim ke salah satu siswa laki-laki dari kelas lain. "Kemari dan jadi contoh."

Pak Kim siap dengan papan klip di tangannya, sibuk mempersiapkan penilaian untuk kelas Hana dan kelas yang--entahlah Hana juga tidak tahu. Beberapa siswa yang ditunjuk Pak Kim mulai memenuhi lapangan. Lima dari campuran dua kelas, semuanya laki-laki. Sedangkan yang lain dipersilakan duduk santai di tepi lapangan yang berumput untuk melihat contoh yang akan didemokan.

Tak terduga, suara riuh gemuruh memenuhi satu lapangan. Beberapa kakak kelas atau adik kelas yang kebetulan juga ada di jam olahraga, melirik sambil teriak-teriak seolah menemukan harta karun ke arah mereka.

"Astaga, itu Kak Sungyoon!"

"Sungyoon aarrghhhh!!!"

"Sungyoon-ya, fighting!"

"Sungyoon tampan, semangat!!"

"Biar kuusap keringatmu itu, Sungyoon!"

Suara-suara itu rupanya mampir di telinga Hana. Membuat penasaran dengan wajah mana yang namanya terus-terusan dipanggil bak seorang idola kenamaan. Hana terkekeh pelan. Sudah seperti artis saja.

Faktanya, mungkin memang iya.

"Dia Choi Sungyoon, dari kelas sebelah."

Hana menoleh. Ia tak salah dengar, kan? Barusan Eunbin menjawab pertanyaan yang ia lontarkan dalam hati? Astaga, sejak kapan gadis itu bisa membaca pikiran? Yang benar saja. Bisa gawat kalau Eunbin tahu kalau si Choi Sungyoon itu sudah mengacau pikirannya.

Berusaha mengabaikan perkataan sahabatnya, Hana kembali fokus. Memperhatikan praktik yang akan dilakukan oleh lima pemuda di lintasan lari lapangan. "Nah, itu!" tunjuk Eunbin seru sendiri. "Yang pakai topi biru."

Topi biru? Mungkinkah?

Deg!

Pemuda yang bernama Sungyoon itu menoleh sebelum berlari. Mungkin sadar kalau sedari tadi ada yang menilik dengan tajam. Saat itu, dua pasang netra saling bertabrakan. Intens, kontak mata yang tak lepas sampai peluit dibunyikan.

Hari itu, Hana menyadari satu hal. Pemuda yang ia temui di stasiun dengan Choi Sungyoon yang terkenal di sekolah, adalah orang yang sama. []

[✓] FantasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang