Chapter V: Konflik

112 7 0
                                    

Edgar memegang kepalanya yang sedikit  bengkak akibat benturan dengan kepala Nonny. Ia meringis menahan sakit.
"Kepala yang luar biasa. Pasti kepalanya juga bengkak", gumamnya. Ia tersenyum.

Edgar ingat bahwa besok adalah hari Rabu. Seperti biasa, ia tidak akan masuk kantor dan sudah mempunyai acara sendiri. Edgar mengambil HPnya dan menghubungi seseorang.

"Besok aku tidak masuk kantor. Bukan berarti kamu free. Selesaikan beberapa berkas yang tertunda", perintah Edgar. Edgar mendengar jawaban siap dari lawan bicaranya.

"Bagaimana dengan kepalamu?" Kalimat yang hanya ia katakan dalam hati yang sulit untuk dikeluarkan sesaat sebelum menutup panggilan tersebut.

Edgar mengambil sebuah potret yang terbingkai manis dengan mata berkaca-kaca.

"Aku rindu", lirih Edgar.

***

"Ada apa Will?", tanya Nonny. William menggenggam tangan Nonny erat.
William menatap Nonny, ia masih terdiam. Tangan Nonny yang tidak digenggam William, mengelus punggungnya. Mereka terdiam beberapa saat. Tanpa memaksa, Nonny menunggu William untuk berbicara.

"Mama kumat lagi, Nonn", William membuka percakapan.

"Entah apa yang menjadi pemicunya. Mama tidak pernah sekalipun bercerita. Mungkin tidak juga pada Papa. Ia seolah menikmati kesakitan dan kesedihannya sendiri. Kali ini ia sedikit melukai tangannya." lanjut William.

"Mama butuh waktu, Will. Mama mungkin tidak ingin membuat kalian khawatir dengan masalah yang sedang Mama alami." Nonny menenangkan William.

"Justru apa yang Mama lakukan pada dirinya seperti sekarang ini semakin membuat aku khawatir, Nonny. Ia melukai dirinya. Mau sampai kapan ia pendam itu sendiri??? Tidak bisakah ia cerita kepada orang terdekatnya??? Apa aku tidak pantas mendengar segala masalah dan kekhawatirannya??? Sudah 10 tahun Mama seperti ini Nonny. Mau sampai kapan hah???" sanggah William dengan nada marah sambil melepaskan genggamannnya.
Nonny kaget. Baru kali ini ia melihat William yang begitu emosional. William yang sadar terhadap berubahan wajah Nonny, tersentak.

"Maaf Nonny kalau membuatmu kaget. Aku hanya merasa diri tidak berguna sebagai anak. Maaf", kata William lagi.

Nonny memeluk William, sesekali menepuk kecil punggungnya. HP Nonny berdering dengan nada khusus. Nonny tahu Edgar yang meneleponnya. Sengaja ia mengatur panggilan dari Edgar dengan nada khusus. Nonny melepaskan pelukan dari William. Ia mengangkat panggilan tersebut. Belum sempat mengatakan 'halo', Edgar langsung berbicara.

"Besok aku tidak masuk kantor. Bukan berarti kamu free. Selesaikan beberapa berkas yang tertunda."

"Siap Presdir" jawab Nonny dengan tegas.
Panggilan dimatikan.

"Jadi bos kamu lebih penting daripada aku? Bisa-bisanya kamu melepas pelukanmu hanya untuk mengangkat telepon dari bos kamu itu" kata William dingin sambil menunjukkan smirknya.

"Maaf Will. Bukan maksudku seperti itu. Tolong kamu jangan salah paham. Aku hanya tidak ingin dapat masalah lagi dengannya",kata Nonny.

"Kamu egois, Nonny. Kamu kan tahu kalau aku hanya ingin semua perhatian, semua fokus kamu hanya padaku. Bukan untuk orang lain. Siapapun itu." Nonny merasa bersalah setelah mendengar ucapan William. Ia seharusnya tidak mengangkat telepon dari Edgar. Seharusnya ia lebih memahami William. Namun tatapan mengintimidasi dari Edgar atas kesalahannya lebih ia takuti. Dan karena ketakutannya itu, ia melukai perasaan William.

"Aku salah Will. Maaf. Aku janji ini pertama dan terakhir aku seperti ini. Tolong jangan marah aku ya Will" Nonny memberikan tatapan memohon dengan mata berkaca-kaca.

William yang melihat Nonny seperti itu merasa tidak tega. Ia berusaha meredakan amarahnya dan berusaha memahami Nonny. Ia menggenggam tangan Nonny. Meraih Nonny dalam pelukannya dan berkata,"Maaf Sayang. Aku sedikit sensitif tadi. Aku ingin kamu hanya peduli padaku." Nonny mengangguk. William mengeratkan pelukannya. Betapa ia teramat sayang terhadap Nonny.

"Kamu sudah makan malam?" tanya William setelah melepaskan pelukan mereka. Nonny menggeleng. William menarik tangan Nonny, menuju mobilnya.
Mereka menuju restoran favorit keduanya untuk makan malam. Nonny mengambil HP, mengetikan pesan singkat kepada Ibunya sekedar memberi kabar bahwa ia akan terlambat pulang kemudian menonaktifkan HPnya agar tidak ada yang mengganggu acara makan malamnya bersama William.

Sepanjang perjalanan menuju restoran, tangan kiri William menggenggam tangan Nonny sedangkan tangan kanannya memegang kemudi. Perasaan mereka semakin besar setelah keduanya menyelesaikan kesalahpahaman yang ada. Dan mereka takut kehilangan satu sama lain.

***

Keesokkan harinya, William mendapati Ibunya tersenyum manis duduk di meja makan. Seolah tidak ada yang terjadi kemarin. Hati William sedikit menghangat. Meski ia masih mengkhawatirkan kondisi Ibunya. Ia makan bersama Ibunya. William ingin bertanya, namun ia urungkan niatnya. Ia tahu betul pertanyaannya tidak akan membuahkan jawaban.

William mengantar Nonny ke Ed Corporation. Nonny melambai dan tersenyum manis sesaat sebelum William meninggalkan loby. Nonny melangkahkan kakinya dengan riang menuju meja kerjanya.

"Jadi, kamu masuk kerja Nonn. Aku pikir kamu akan bolos hari ini karena Presdir tidak masuk", kata Kai seketika menghentikan langkah Nonny.

"Ada pekerjaan yang harus diselesaikan Kai" jawab Nonny datar.

"Kerja itu harus fokus. Jangan membuat kesalahan. Karena keteledoran kamu waktu itu, aku yang kena imbasnya. Pihak T-Company marah-marah. Bahkan Presdir terlihat biasa tanpa menggerutu atau memarahimu. Apa sih istimewanya kamu? Bahkan hasil interview kamu waktu itu dinyatakan gagal" Kai berkata panjang lebar kepada Nonny.

"Maksud kamu apa Kai? Apa maksud kamu dengan interview aku yang gagal?" tanya Nonny tajam.

Kai terdiam. Ia salah tingkah. Kai baru menyadari kalau mulutnya terkadang berada di luar kendalinya. Nonny terus mendesak Kai. Dengan terpaksa dan berat hati Kai menceritakan semua yang Kai tahu.

"Jadi awalnya aku pikir kamu adalah kenalan Presdir. Sampai-sampai aku diancam akan dipecat kalau tidak bisa membawamu bekerja di perusahaan ini. Apa sebelumnya kalian saling mengenal? Atau punya hubungan khusus?" selidik Kai.

Nonny menggeleng dan menjawab, "Aku bahkan baru tahu wajah dan namanya saat hari pertama bekerja di sini."
Nonny mempunyai ingatan yang kuat jadi tidak mungkin kalau ia tidak mengenal Edgar jika dulunya mereka pernah bertemu. Nonny memilih meninggalkan Kai menuju meja kerjanya.

Ia berusaha fokus mengerjakan berkas yang ada di hadapannya. Namun ia masih penasaran alasan ia dipekerjakan di perusahaan ini. Satu-satunya orang yang bisa memberikan jawaban hanyalah Edgar. Membayangkan ia akan bertanya pada Edgar saja sudah membuat ia gugup dan takut.

***

Edgar keluar dari mansion mewahnya dan  memasuki mobil yang terparkir di halaman depan dengan sebuket bunga lili di tangan Edgar.

"Ayo jalan, Pak Hans" Perintah Edgar. Dalam diam Pak Hans melajukan mobil menuju tempat yang setiap minggu Edgar kunjungi.

Edgar turun dari mobil sesampainya di sana. Suasana sepi seperti biasanya. Ia berjalan dengan santai menyusuri jalan sempit yang tersedia.

"Aku datang lagi. Apa kabar?" kata Edgar dengan nada sedikit bergetar.

Ketika Harus Memilih (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang