Chapter VI: Painful Fact

119 7 12
                                    

William melangkahkan kakinya menuju Red Hill Restaurant bertemu dengan kliennya. Ia datang sedikit cepat dari waktu yang dijanjikan. Seorang Waitress membawa air putih untuk William. Ia meneguk setengah air dari gelas tersebut. Beberapa kali, William melihat jam tangannya. Ia berniat menelepon Nonny. Rasanya ia sudah merindukan gadis itu. Namun ia sadar, sekarang Nonny pasti sangat sibuk.

William mendapat pesan dari Ayahnya. Ayahnya sedang dalam perjalanan dari Bandara menuju rumah. Bukan bahagia yang William rasakan tetapi rasa cemas. Ia takut ketika Ayah dan Ibunya bertemu maka akan terjadi pertengkaran. Ia bertanya-tanya bagaimana kedua orang tuanya bisa menikah jika yang ia lihat bukan wajah bahagia melainkan wajah tertekan dan bukan rumah dengan suasana yang tenang melainkan suasana penuh keributan dan pertengkaran. Ia terkadang setuju dengan keputusan Ayahnya yang memilih tinggal di luar negeri dan mengurus perusahaan yang ada di sana. William berusaha mengusir segala kekhawatiran yang ada. 

Klien yang ditunggu William akhirnya datang. Setelah berjabat tangan, William mempersilahkan kliennya untuk duduk. Mereka membahas beberapa hal terkait kerja sama yang akan mereka lakukan. Pembicaraan mereka terhenti ketika HP William berbunyi. William melihat layar yang tertera, panggilannya berasal dari rumahnya. Ia mulai khawatir. William memohon ijin kepada kliennya untuk mengangkat panggilan tersebut.

"Halo" sapa William

"Tuan Muda, saya mohon Tuan Muda pulang sekarang. Nyonya Besar dan Tuan Besar sedang bertengkar. Saya takut sesuatu terjadi pada Nyonya", kata salah satu pelayan di rumah William dengan panik.

Tanpa menunggu lama, William meminta maaf pada kliennya dan segera beranjak dari restoran tersebut menuju rumahnya. William dengan cepat melajukan mobilnya.

***

William masuk ke dalam rumah dengan beberapa barang yang sudah pecah dan berantakan. Terdengar tangisan dan teriakan dari kamar Ibunya dan suara Ayahnya yang terdengar marah. William menahan tangan Ayahnya ketika melihat Ayahnya akan menampar Ibunya.

"Papa tolong hentikan!!!" bentak William. Melihat William, Ayahnya terdiam. Namun sorot matanya masih menyimpan amarah.

"Jangan ikut campur, Will. Ini urusan antara Papa dan Mamamu." Ayah William berkata dengan nada marah.

William menahan emosinya dan berkata, "Karena kalian orangtuaku maka aku berhak untuk mencampurinya. Sudah cukup aku hanya terdiam melihat pertengkaran kalian selama ini."

"Dia bukan Papamu William. Dia pembunuh." Ibu William berkata sambil menunjuk Ayah William. Ayah William menutup mulut Ibunya agar tidak berkata macam-macam di depan William.

"Apa maksud Mama? Papa tolong jelaskan!!!" William berusaha menahan amarahnya.

Ayah William terdiam dan melepaskan tangan yang tadinya menutup mulut Ibu William.

"Kenapa diam?? Kamu takut William membencimu?? Anakku harus tahu kebenarannya. Kebenaran bahwa kamu telah membunuh Ayah Kandungnya."

William tidak dapat berkata apa-apa lagi.Ia merasa hatinya ditikam dengan beribu belati. Ia belum siap menerima kenyataan yang ada. Kenyataan menyakitkan. William meninggalkan kedua orang tuanya. Berharap bahwa Ibunya hanya asal bicara agar membuat Ayahnya marah.

"Apa sekarang kamu puas melihat William seperti itu? Dari awal, meski William bukan darah dagingku, aku tetap menganggap dia anakku. Jadi berhenti membuat keributan dan kekacauan" bentak Ayah William.

Perkataan Ayahnya membuat luka di hati William semakin menganga. Ia belum benar-benar pergi dari tempat itu. Ia hanya berdiri sebentar di depan pintu menenangkan diri. Namun ia harus mendengar perkataan yang menyakitkan dari orang yang sudah ia anggap Ayah selama ini.

Ketika Harus Memilih (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang