Chapter XV: Sebuah Pengakuan

89 6 2
                                    

Edgar dibawa ke rumah sakit Modena. Ia mendapatkan penanganan dari Dokter yang bernama Raldy.
"Bagaimana keadaan Presdir, Dokter?" Tanya Kai yang khawatir terhadap kondisi Edgar.

"Edgar hanya mengalami demam ringan ditambah ia kelelahan dan kurang istirahat. Biarkan Edgar istirahat untuk beberapa jam ke depan. Jika ia sudah sadar, jangan biarkan ia bangun dari tempat tidurnya. Baiklah, saya tinggal dulu. Ada beberapa pasien yang harus saya tangani" kata Dokter kemudian pergi meninggalkan Kai.

"Baru kali ini, Presdir jatuh sakit. Ini pasti gara-gara Nonny yang kurang tanggap menjadi sekretarisnya" kata Kai.

***

"Tolong aku. Aku mohon. Siapapun tolong aku" batin Nonny.

James mendekati Nonny dengan perlahan membuka kancing bajunya sendiri. Nonny berusaha berteriak ketika mulutnya dibekap James. Nonny menggigit telapak tangan James dan menendang kakinya. James yang merasa kesakitan, melepas bekapannya dan Nonny berusaha menjauh dari James dengan mencari sesuatu di dalam kamar untuk digunakan sebagai alat pertahanan diri.

"Teruslah menghindar, Nonny. Semakin kamu menghindar, semakin aku menginginkanmu. Hahahahahahahaha" tawa James yang semakin membuat Nonny gugup. James mengejar Nonny. Karena kekuatan diantara mereka tidak setara, maka Nonny tersudut. Ia berada dalam kukungan James.

Nonny berusaha keluar dari kukungan tersebut. Namun James menampar Nonny sehingga ia jatuh dan kepalanya membentur meja yang berada di sampingnya. James menarik rambutnya. Bibir dan dahi Nonny terluka dan mengeluarkan darah akibat tamparan dan benturan yang ia dapatkan. Nonny pasrah terhadap apa yang akan terjadi padanya. Ia merasa tidak punya tenaga untuk melawan.

Nonny merasa kepalanya sakit. Penglihatannya mulai memudar. Namun tangannya masih tetap kuat menahan pakaian yang dipakainya agar tidak dirobek James.

"Tuhan, aku berharap pada-Mu" batin Nonny ketika James mendekatinya dan merobek pakaiannya. Keringat dingin membasahi wajah Nonny, pandangannya kabur dan ketika ia akan menutup matanya, sekilas Nonny melihat pintu kamar terbuka. Nonny pingsan.

***

Edgar sadar dari pingsannya. Ia terbangun tengah malam. Ia melihat sekelilingnya dan melihat pakaian khas rumah sakit yang sedang ia kenakan. Merasa bahwa kondisinya sudah membaik, ia berencana melepas jarum infus yang tertanam manis dalam pembuluh darahnya ketika Dokter Raldy datang.

"Kamu sudah sadar, Edgar? Lama tidak bertemu. Sudah lama kita tidak berbincang-bincang. Terakhir kamu seperti ini ketika kejadian Renata. Apa yang sebenarnya terjadi padamu?" kata Dokter Hadi.

"Apa Kakak bisa melepaskan infus ini? Aku ingin berjalan-jalan di sekitar sini. Badanku akan terasa sakit kalau aku hanya tidur di tempat ini seharian" Edgar mengalihkan pembicaraan.

"Jangan menyakiti dirimu sendiri Edgar dengan hidup dalam rasa bersalah. Renata pasti sedih melihatmu seperti ini. Kita tahu bersama kamu dan Renata tidak mungkin bersama. Kamu berhak bahagia Edgar" Dokter Raldy menatap Edgar.

"Aku sedang berusaha membuang rasa bersalah itu Kak. Kakak dari dulu memang tidak pernah berubah. Dari dulu selalu saja cerewet. Cepat cabut jarum infus ini sebelum aku yang mematahkannya" Edgar tersenyum.

"Baiklah Adik Iparku yang keras kepala" Dokter Raldy mendekati Edgar dan melepas jarum infus yang ada pada pergelangan tangannya.

"Aku merindukan panggilan itu darimu Kakak" Edgar tersenyum yang menampilkan lesung pipinya.

Pintu kamar Edgar dibuka dan seorang suster berkata," Dokter, Anda dibutuhkan di UGD ada seorang pasien yang membutuhkan Anda"

"Baiklah aku segera ke sana" Dokter Raldy meninggalkan Edgar.

Ketika Harus Memilih (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang