Chapter XII: Suara Hati

94 6 2
                                    

William memegang pelipisnya yang terasa nyeri akibat dipukul Edgar. Pukulan Edgar membuat pelipisnya memar dan berwarna kebiruan. Mengingat malam itu, membuat William geram.

"Siapa si brengsek itu? Beraninya dia mencampuri urusanku"

William teringat Nonny. Seketika ia merasa bersalah dengan apa yang telah ia lakukan terhadap Nonny. Ia merutuki dirinya sendiri. Merutuki dirinya yang tidak bisa mengontrol emosinya. Namun di sisi lain dirinya bahagia ketika ia memukul Nonny. Melihat tidak ada kabar dari Nonny, William gelisah. Ia takut Nonny meninggalkannya. Ia teramat mencintai gadis itu.

Tanpa mempedulikan rasa nyeri di pelipisnya, William melajukan mobilnya ker rumah Nonny. Ia merindukan Nonny.

***

"Ayah, apa Nonny ada?" tanya William kepada Bapak Robert.

"Nonny sedang tugas keluar kota. Ada apa William? Kenapa dengan pelipismu?" Bapak Robert memperhatikan pelipis William yang memar.

"Aku hanya terjatuh, Ayah. Kalau aku boleh tahu, dengan siapa Nonny pergi?" William penasaran.

"Kata Mama Rani, Nonny pergi bersama Presdirnya. Mungkin lusa mereka akan kembali. Pelipismu itu harus segera diobati, Nak. Pasti terasa nyeri." Bapak Robert mengkhawatirkan William.

William segera pamit dan pergi meninggalkan rumah Nonny. Emosi yang tak terkendali menguasai William.

"Brengsek...Beraninya dia pergi tanpa ijinku. Tunggu kamu Nonny, akan kubuat kamu dan Presdir brengsekmu itu menyesal karena telah membuat aku seperti ini."

"Mereka pasti sedang bersenang-senang, Will. Bodoh kamu, William. Nonny berselingkuh di belakangmu."

"Kamu ditipu Nonny, William. Kamu akan bernasib sama seperti Papamu, jika kamu tidak mendidik Nonny dengan keras"

"Mereka bukan pergi untuk urusan pekerjaan, Will. Kasihan dirimu yang begitu bodoh. Beri Nonny pelajaran agar dia bertekuk lutut kepadamu"

William mendengar bisikan-bisikan tersebut. William menutup telinganya. Kepalanya sakit. William butuh pelampiasan. Ia pergi ke diskotik. Memesan minuman keras. Meneguknya berkali-kali. Membayar seorang perempuan kemudian memukulnya untuk melampiaskan kekesalannya dengan membayangkan kalau perempuan bayaran itu adalah Nonny.

***

"Apa yang kamu lakukan dengan berdiri di hadapanku, Nonny?" tanya Edgar dingin.

Deg. Nonny ketahuan. Rasa gugup melandanya. Dengan terbata-bata Nonny berusaha menjawab ,"Aku...aku hanya...hanya"

"Stupid Edgar!!! Kamu membuatnya gugup" batin Edgar.

Melihat Nonny menjawab dengan terbata-bata membuat Edgar merasa bersalah.

"Apa sesulit itu untuk menjawab? 'Sial. Kenapa mulutku mengeluarkan kata-kata seperti ini? Ini semakin membuat Nonny segan terhadapku'. Ya sudah aku tidak berharap mendapat jawaban darimu. Ayo kita makan. Perutku sangat lapar. 'Good job, Edgar. Seharusnya kalimat ini yang kamu keluarkan." 

Nonny merasa lega. Ia tidak mungkin menceritakan apa yang telah ia lakukan terhadap Edgar. Ia dengan berani memegang tangan Edgar, menepuk pelan lengannya dan apa-apaan kepalanya menjadikan dada Edgar sebagai bantal. Bisa-bisa Nonny dipecat jika Edgar tahu. Nonny bergidik ngeri.

Nonny masuk ke dalam kamar mandi, mencuci muka dan menyikat gigi kemudian keluar menuju tempat di mana Edgar berada untuk sekedar sarapan.

"Kamu harus makan yang banyak, karena kita akan sangat lama di tempat proyek nanti. Aku tidak mau melihat sekretarisku jatuh pingsan karena lapar. Karena aku tidak ingin dianggap sebagai bos yang kurang memperhatikan pegawainya" kata Edgar dengan serius.

Ketika Harus Memilih (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang