Chapter VII: Pelampiasan

105 7 2
                                    

Nonny terbangun dengan pipi bagian kiri bengkak dan sudut bibir yang terluka. Ia bangun cepat dari biasanya. Nonny bersiap untuk pergi bekerja . Saat Ibu Rani sedang sibuk menyiapkan sarapan, Nonny memilih segera berangkat dengan tergesa-gesa. Berharap kedua orangtuanya tidak melihat yang terjadi pada wajahnya.

"Ma, aku berangkat ya..." teriak Nonny.

"Kamu tidak sarapan Nonn?" tanya Ibu Rani.

Tanpa mempedulikan pertanyaan Ibunya, Nonny melangkah dengan cepat. Sebelum menuju halte bus, Nonny mampir ke apotek membeli obat untuk lukanya. Sepanjang perjalanan menuju Ed Corporation, di dalam bus Nonny memikirkan kejadian semalam yang menimpa dirinya. Ia masih tidak percaya dengan yang dilakukan William. Ia masih teringat senyuman William setelah memukulnya. Hatinya sakit. Namun ia berusaha untuk memaklumi apa yang William lakukan terhadapnya. Melihat raut wajah dan sorot mata William semalam menyadarkan Nonny bahwa lelaki itu menyimpan sakit yang luar biasa di hatinya. Apa yang William rasakan jauh lebih sakit daripada pukulan William yang diterimanya. 

Dengan susah payah mengantar William pulang meski mendapatkan beberapa kali penolakan. Bukan hanya sekali ditampar William, tetapi beberapa kali yang seketika membuat pipinya mati rasa dan membengkak. Hal ini seharusnya membuat ia membenci lelaki yang sangat ia cintai itu. Namun ketika ia mendengar alasan dari Ayah William semakin Nonny mengkhawatirkan William dan ingin selalu ada untuk William. Ia tidak bisa membenci William dengan kondisinya yang sekarang.

Nonny tiba di perusahaan lebih cepat dari karyawan lainnya. Ia melangkah menuju ruangannya. Mengeluarkan obat yang ia beli di apotek dan mulai mengobati lukanya.

***

William bangun dari tidurnya. Ia memegang kepalanya karena ia merasa sedikit pusing. Pengaruh alkohol yang ia teguk, belum benar-benar hilang. Ia bangun dari tempat tidurnya kemudian membersihkan diri. Ia berusaha mengingat apa yang terjadi. Potongan-potongan ingatan samar memenuhi kepalanya. Seketika ia mengingat bahwa Nonny juga ada di Bar tersebut. Ia mengingat bahwa Nonny jatuh. Ia pun berusaha mengingat penyebab Nonny jatuh. Namun sulit. Selesai membersihkan diri, ia mengirim pesan kepada Nonny untuk bertemu di apartemennya.

***

Nonny masuk ke ruangan Edgar seperti biasa untuk menyampaikan jadwal Edgar hari ini dan mengantar beberapa berkas yang ditugaskan Edgar padanya. Edgar datang terlambat. Nonny membaca dengan kepala tertunduk agar Edgar tidak melihat wajah dan sudut bibirnya yang luka. Edgar fokus pada laptop yang ada di depannya. "Syukurlah", batin Nonny. Di kondisi seperti ini Nonny bersyukur memiliki Presdir seperti Edgar yang gila kerja. Meski Edgar mendengar apa yang disampaikannya tetapi fokus Edgar hanya kepada pekerjaan yang ada di laptopnya. Sehingga tidak terlalu memperhatikan yang ada pada wajah Nonny. Namun tanpa Nonny sadari, sesekali Edgar memandang Nonny saat ia membaca jadwal Edgar. Melihat pipi Nonny yang bengkak, Edgar mengerutkan keningnya.

"Seharusnya kepalanya yang bengkak bukan pipinya" batin Edgar.

Edgar memperhatikan lebih jeli dan melihat luka di sudut bibir Nonny. "Apa yang terjadi padanya??? Apa ia dipukul??? Tapi siapa yang memukulnya???" lagi-lagi Edgar membatin.

Nonny terdiam setelah selesai membaca semua jadwal Edgar dan ia tertunduk menatap lantai ruangan Edgar. Edgar menyadari bahwa Nonny berusaha menyembunyikan sesuatu yang ada di wajahnya. Dari raut wajahnya pun menunjukkan bahwa dirinya kurang nyaman.

"Karena hari ini jadwalku semuanya berada di luar perusahaan, maka kamu bisa pulang sekarang" kata Edgar dingin. Nonny semakin bersyukur. Tanpa bertanya apapun, Nonny pamit dan meninggalkan ruangan Edgar.

"Apa yang sebenarnya terjadi padanya? Ah, kenapa aku harus tahu? Tidak. Aku tidak boleh seperti ini" kata Edgar dengan menggelengkan kepalanya. 

***

Nonny belum meninggalkan perusahaan. Ia masih menunggu sampai jam istirahat makan siang. Biasanya di jam makan siang semua karyawan meninggalkan meja kerja mereka entah untuk makan siang di kantin ataukah makan siang di luar. Ia harus memanfaatkan moment tersebut agar tidak ada yang melihat wajahnya terlebih lagi ia harus menghindari si cerewet Kai. Nonny membuka HPnya dan membaca pesan yang dikirim William. Tiba jam makan siang, Nonny pulang. Ia menuju apartemen William dengan membawa beberapa bahan makanan yang sengaja ia beli.

Nonny yakin William belum sampai di apartemennya. Ia memasukkan kode pintu apartemen dan masuk ke dalam. Benar dugaannya, apartemen itu kosong. Nonny meletakkan tasnya dan mulai bergulat dengan bahan makanan yang ada. Ia memasak ala kadarnya. Karena asyik memasak, Nonny tidak menyadari bahwa William sudah berada di belakangnya. William memeluk Nonny dari belakang. Nonny tersentak. Nyaris menjatuhkan sodet (sutel) yang ada di tangannya. William berbisik, "Aku merindukanmu, Sayang". Nonny tersenyum.

"Iya aku tahu, Will. Jadi bisa kah kamu melepaskan pelukanmu? Aku belum selesai masak", kata Nonny. William tertawa. William melepaskan pelukannya dan Nonny segera menyelesaikan masakannya. Ia dengan cekatan menyajikan makanan di atas meja. William memandang Nonny dengan penuh cinta. Namun ia menyadari ada sesuatu di wajah Nonny. Ia menarik Nonny lebih dekat ke arahnya.

"Sayang, wajahmu kenapa? Siapa yang sudah melakukan ini kepadamu?" tanya William dengan nada khawatir. Nonny terdiam. William kembali berusaha mengingat yang terjadi di bar.

"Apa aku yang melakukan ini kepadamu, Nonn? Tolong jujur", William memohon. Nonny mengangguk pelan. William memeluk Nonny dan mengusap rambutnya.

"Maaf Sayang. Aku tidak bermaksud menyakitimu. Maaf", kata William dengan menyesal. Namun detik berikutnya, ia merasakan sensasi aneh ketika membayangkan ia memukul Nonny. Hatinya menghangat.

Nonny dan William makan bersama dan mencuci piring setelah selesai makan. Hal-hal sederhana yang sangat berkesan jika dilakukan bersama dengan orang yang dicintai.

"Will, aku sudah dengar semua dari Papamu tentang yang terjadi di masa lalu. Maaf bukannya mau ikut campur, tapi aku berharap kamu tidak membenci Papa atau Mamamu, Will" Nonny membuka percakapan.

"Kamu tidak tahu apa yang aku rasakan Nonny. Mereka melukaiku. Aku tahu mereka juga terluka. Cara mereka melampiaskan sakit yang mereka rasa membuat aku semakin amat terluka. Kenapa dari awal rahasia besar ini tidak mereka ceritakan? Selama 10 tahun terakhir aku hidup dengan mencari alasan kedua orang tuaku yang tidak seharmonis orang tuamu. Kamu tidak paham itu Nonny. Kamu beruntung dilahirkan dari keluarga yang penuh kasih sayang" suara William bergetar.

"Maaf, Will. Maaf karena tidak paham dengan perasaanmu. Maaf yang tidak tahu sebagaimana menderitanya kamu dulu dan saat ini. Tapi tolong ijinkan aku merasakan apa yang kamu rasakan. Tolong lebih terbuka tentang perasaanmu, Will. Meskipun kita sudah menjalani hubungan ini selama tiga tahun, aku masih ingin lebih mengenalmu. Jangan pendam segalanya sendiri. Aku mohon", Nonny memohon. William tersentuh.

"Kalau begitu berjanjilah padaku, Nonny. Apapun yang terjadi dan apapun yang aku lakukan nanti, tolong tetap berada di sisiku. Jangan pergi. Jangan sesekali membohongiku dengan alasan apapun. Dan ke manapun kamu pergi harus sampaikan dan meminta ijin kepadaku. Jika aku tidak memberimu ijin, jangan berpikir untuk melanggarnya. Maaf, aku hanya tidak ingin kehilangan dirimu seperti yang dialami Mamaku kehilangan orang yang ia cintai." William memberikan ultimatumnya. Tanpa berpikir panjang, Nonny meng-amin-kan segala yang diinginkan William.

"Aku janji, William". Nonny mengangguk dan tersenyum manis. William mengelus wajah Nonny. William mendekatkan wajahnya ke wajah Nonny. Nonny bisa merasakan deru nafas William. Jantung Nonny berdetak cepat. Ia merasakan nafasnya terhenti sesaat. Saat bibir keduanya akan bersentuhan, HP William berbunyi. Nonny menjauhkan wajahnya dari wajah William. Wajah Nonny memerah. Nonny mengisyaratkan agar William menerima panggilan tersebut. William tampak kecewa.

"Iya. Ada apa?" tanya William kasar.

Seketika William menjatuhkan ponselnya setelah mendengar orang yang meneleponnya berbicara. Ia segera meninggalkan apartemennya dengan berlari secepat mungkin. William meninggalkan Nonny yang menatapnya bingung.

Ketika Harus Memilih (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang