8

72.9K 731 34
                                    

HERMAN POV

"Karin kenapa Pa?" Tanya Marcella sesaat setelah Karin beranjak pergi menuju ruang depan.

"Nggak apa-apa Ma, mungkin lagi bete aja." Jawabku dengan santai, berharap agar Marcella tidak mencurigai tentang sesuatu yang baru saja terjadi antara Aku dengan Karin.

"Bete? Bete kenapa Pah?"

"Ya nggak tau Mah, coba nanti Mama tanya sendiri deh ke Karin."

"Kok nggak kayak biasanya, jangan-jangan kalian habis berantem lagi ya? Iya Pah?" Desak Marcella, Aku mencoba untuk tetap tenang.

"Nggak Ma, Kami baik-baik saja kok, orang tadi cuma makan siang bareng sambil ngobrol-ngobrol aja kok."

"Atau jangan-jangan dia habis dibully temen-temennya di sekolah gara-gara masalah dengan Raka ya Pah? Kamu tadi nggak nanya apa gitu ke dia Pah?" Marcella mulai terlihat panik, terlebih saat mengingat peristiwa tempo hari yang menimpa Karin. Aku memakluminya karena bagaimanapun Karin adalah puteri semata wayangnya.

"Mah, tenang. Karin nggak apa-apa, Kamu tuh yang keliatannya lagi kenapa-kenapa." Kataku sambil mengusap pundak Marcella, berusaha agar istriku ini tidak panik dengan alasan yang tidak jelas.

"Aku masih mengkhawatirkan Karin Pah." Aku menghampiri tubuh Marcella kemudian memeluknya dengan hangat.

"It's okay Mah, Kamu jangan terlalu terbebani seperti ini, ada Aku di sini. Karin aman sekarang." Marcella hanya menghela nafas panjang dan memelukku lebih erat, tak berselang lama Karin muncul dari ruang depan sambil menenteng beberapa bungkus tas plastik besar, raut wajahnya berbeda saat melihatku sedang memeluk Karin, tatapan yang mengingatkanku saat pertama kali Karin melihatku berada di rumah ini, tatapan kebencian. Karin sejenak berhenti, menatapku tajam untuk sesaat sebelum akhirnya meletakkan bungkusan tas plastik belanjaan di ruang tengah kemudian beranjak menuju kamarnya.

*****

"Loh, ya nggak bisa to Mas Anton kalo tiba-tiba dibatalin seperti ini, nanti apa kata Pak Herman? Dia udah ikut proses tender loh Mas." Ucap Surapto dengan mimik muka serius, Anton yang duduk di depannya bersikap tenang.

"Tolong dibikin bisa Pak, ini tugas langsung dari Bupati." Kata Anton.

"Duh, Saya jadi serba salah, dituruti nanti Saya kena amuk Pak Herman, nggak dituruti nanti Bupati Rauf yang ngamuk. Pusing Saya Mas." Surapto menyenderkan badan kurusnya pada punggung kursi, pria 48 tahun yang berprofesi sebagai kepala PU kabupaten ini menghela nafas panjang seperti ingin melepaskan beban berat.

"Pak Surapto tidak perlu khawatir, ini hanya permintaan kecil dari Bupati, lagipula tidak semua proyek yang dibatalkan, hanya beberapa saja." Anton mencoba kembali meyakinkan Surapto agar mau menuruti perintahnya.

"Bukan begitu Mas, tapi ini nanti urusannya dengan hukum, Saya takut kalo gara-gara ini Saya bisa masuk penjara. Membatalkan kontrak secara sepihak tentu bukan opsi terbaik saat ini." Dahi Surapto terlihat mengkerut, seperti sedang memikirkan jalan keluar tanpa harus menyusahkan dirinya sendiri.

"Bapak tidak perlu mengkhawatirkan masalah itu, tenang saja, semua sudah diurus oleh Bupati, lagipula ini hanya untuk menekan Pak Herman saja. Jadi, nanti kalau Pak Herman setuju atas permintaan Bupati, semua proyeknya akan kembali berjalan normal. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan." Surapto kembali menghela nafas panjang, tampaknya dia tidak menemukan opsi lain selain menuruti perintah Anton.

"Baiklah jika begitu Mas, ini beberapa berkas kontrak yang Mas Anton minta." Surapto kemudian menyerahkan beberapa map berkas kepada Anton.

"Terima kasih Pak, Bupati Rauf tidak akan melupakan jasa Bapak, tenang saja. Ini sedikit ucapan terima kasih dari Bupati." Anton menyerahkan segepok uang ratusan ribu rupiah kepada Surapto, pria tua itu segera memasukkan uang tersebut ke dalam laci meja kerjanya.

PAPA HERMAN ~ CINTA TERLARANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang