6

66.2K 529 10
                                    

KARIN POV

Sungguh sebenarnya aku enggan untuk turun ke bawah, tapi suara  desahan itu terdengar begitu nyaring, menggugah rasa penasaranku. Dengan mengendap-endap Aku beranikan diri untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi di lantai satu rumahku. Benar saja, setelah membuka pintu kamar dan mendekati tangga rumah, aku melihat di ruang tv, Mamaku sedang merintih keenakan karena Herman sedang mencumbunya. Meskipun ini bukan pertama kalinya Aku memergoki mereka berbuat mesum, tapi tetap saja dadaku berdegup kencang ketika melihat percumbuan mereka. Tak seperti tempo hari, kali ini entah karena apa Aku tidak ingin buru-buru menyudahi melihat perbuatan mesum mereka, rasa penasaranku semakin menjadi

"Arrrggghghh ! Fuck, enak banget Mas !" Mamaku mengerang, seperti keenakan saat Herman menjilati bagian paling sensitif, vagina. Darahku berdesir kencang melihat adegan itu, Herman terus memainkan lidahnya pada area kewanitaan mamaku, jarinya juga tak mau diam, jelas sekali Aku melihatnya mengobok-obok liang vagina Mamaku. Jantungku berdegup semakin kencang, meskipun ini bukan pertama kalinya Aku memergoki Herman dan Mamaku sedang bercinta, tapi rasanya berbeda. Aku bisa dengan sangat jelas melihat perbuatan mereka dan gilanya lagi Aku tidak ingin menyudahi tontonan ini, Aku ingin menyaksikannya hingga tuntas.

"Ahhh!! Mas!" Mamaku kembali mengerang panjang, kedua tangannya meremas rambut Herman, entah kenapa tubuhku menjadi semakin hangat. Ada sesuatu dalam diriku yang tergelak memaksa untuk  keluar, perlahan pikiranku terbang entah kemana, di dalam kepalaku Aku membayangkan wanita yang dicumbui Herman saat ini adalah Aku, bukan Mama. Tak berselang lama Herman menyudahi permainan lidahnya, Ayah tiriku itu berdiri tepat di hadapan wajah Mama yang masih terlentang di atas sofa. Papa tiriku itu mengacung tegak, besar, panjang dan berurat, jelas sekali Aku bisa melihatnya. Mama kemudian beranjak duduk lalu mulai mengulum batang penis Herman. Mulut Mamaku bergerak maju mundur menghisap tiap jengkal penis Herman, Aku yakin mulut Mamaku tak akan sanggup melahap seluruh batang penis Papa tiriku tersebut. Herman hanya bisa mendesah sambil sesekali menengadahkan kepalanya, entah kenapa dia terlihat begitu perkasa. Tiba-tiba Aku merasakan vaginaku basah, Aku mencoba merabanya menggunakan jariku, memang basah tapi bukan itu yang menarik minatku, tapi rasanya. Aku sulit untuk menggambarkannya, tapi Aku menyukainya. Tanpa Aku sadari sembari melihat pergumulan Mama dengan Herman, jemariku juga sibuk menggesek-gesek vaginaku sendiri. 

"Eeeemmmcchh!" Aku berdesis agak kencang, beruntung kesadarnku tak benar-benar hilang, buru-buru Aku tutup mulutku menggunakan tangan agar suara desisanku tak didengar oleh Herman maupun Mama. Aku terus menyaksikan adegan pecintaan antara Mama dan Herman sambil terus merangsang diriku sendiri. Putingku juga terasa keras, penasaran kembali melanda diriku. Kini jemariku meremas payudaraku sendiri dari luar, rasanya memang sedikit ngilu tapi Aku menyukainya apalagi saat jemariku memlintir putingku sendiri. Permainan sex di hadapanku masih terus berlanjut, kali ini Herman sudah memasukkan penisnya ke dalam vagina Mamaku, erangan dan desahan keduanya membuatku semakin terpacu untuk semakin intens merangsang diriku sendiri. Vaginaku sudah sangat basah, kedua putingkupun semakin keras, sekali lagi Aku membayangkan jika Aku yang sedang dicumbu Herman saat ini.

"Oocchhh! Fuck! Enak banget Mas!" Erang Mamaku, kali ini dia yang memegang kendali permainan. Mamaku sedang mengangkangi tubuh Herman dari atas, tubuh Mama bergerak liar menggenjot penis Herman. Aku menyaksikan dari atas sambil terus menggesekkan jariku pada vaginaku yang sudah sangat basah, semakin lama rasanya bertambah nikmat, sampai-sampai Aku jatuh bersimpuh, tubuhku seperti bergolak untuk mengeluarkan sesuatu, tapi Aku tak tau apa itu. Aku terus memainkan jemariku, beberapa kali bahkan Aku sengaja berlama-lama memainkan klitorisku. Sumpah, ini begitu sangat nikmat. Kedua mataku terpejam, suara erangan Mama dan Herman terdengar begitu saja, sementara isi kepalaku dipenuhi oleh adegan intimku dengan Herman. Lalu gejolak itu benar-benar keluar, tubuhku mengejang hebat, kedua mataku terbuka kembali. Terlihat Herman sudah berdiri kembali, dia mengocok batang penisnya tepat di hadapan wajah Mama yang duduk bersimpuh di hadapannya. Beberapa saat kemudian Herman mengerang panjang, cairannya muncrat tepat di atas wajah Mama, Aku menyaksikan nanar karena momen itu bebarengan dengan cairan dari rahimku yang juga ikut keluar. Nafasku tersenggal tak beraturan, sekuat tenaga Aku kembali berdiri dan pergi untuk kembali ke dalam kamar. Sesampainya di dalam kamar Aku langsung menjatuhkan tubuhku ke atas tempat tidur, tubuhku terasa begitu ringan, padahal beberapa saat yang lalu rasanya begitu lemah, seperti separuh energiku terkuras. Bayangan wajah Herman kembali menggelanyuti kepalaku, tubuhnya yang kekar, batang penisnya yang berurat kembali berputar-putar di atas kepalaku. Entah apa yang sedang terjadi pada diriku saat ini.

HERMAN POV 

Beberapa proyek sudah menunggu di depan mata, Aku harus lebih banyak memfokuskan pikiranku pada pekerjaan setelah beberapa waktu lalu pikiranku tercurah sepenuhnya pada apa yang menimpa Karin. Beruntung putri tiriku itu tidak mengalami hal yang mengerikan, hanya butuh waktu beberapa saat lagi agar mentalnya kembali pulih dan bisa kembali seperti dulu lagi, ceria.

"Selamat siang Pak Herman."

"Iya selamat siang, ada yang bisa Saya bantu?" Tanyaku pada seorang pria yang kini telah berdiri di depan meja kerjaku, perawakannya kurus tinggi dengan penampilan necis. Senyumnya mengembang ramah padaku.

"Boleh Saya duduk?"

"Oh iya, silahkan." Kataku mempersilahkan pria itu untuk duduk.

"Perkenalkan, Saya Anton, Saya datang ke sini atas perintah  Bupati Rauf." Kata pria tersebut memperkenalkan diri padaku. Sekitaku Aku merubah posisi dudukku menjadi lebih defensif karena Aku tau maksud kedatangannya ke sini.

"Oh, orang suruhan Bupati." Ucapku dengan nada sinis.

"Benar Pak, mohon maaf sebelumnya jika kedatangan Saya ke sini mengganggu kesibukan Pak Herman." masih dengan senyum mengembang, Anton berusaha bersikap ramah kepadaku.

"Ok, ada yang bisa Saya bantu Mas Anton?" Tanyaku.

"Begini Pak, Bupati Rauf ingin membicarakan permasalahan antara anak beliau dengan anak Pak Herman secara kekeluargaan."

"Kekeluargaan? Maksudnya gimana nih?" 

"Begini Pak, Bupati Rauf ingin agar permasalahan ini tidak berlanjut sampai ke meja hijau. Bagaimanapun beliau juga ikut prihatin atas apa yang telah menimpa puteri Pak Herman dan beliau akan mendidik sangat keras Raka agar di kemudian hari tidak terulang kejadian seperti ini lagi."

"Jadi maksudmu, Bupati Rauf memintaku untuk mencabut laporan di kantor Polisi dan membebaskan Raka dari tuntutan hukum?" Aku menatap tajam wajah Anton, pria di hadapanku ini masih dengan mimik muka sama, tersenyum.

"Kurang lebihnya begitu Pak, tentu apa yang Bapak lakukan tersebut akan mendapat kompensasi dari Bupati Rauf." Anton kemudian mengambil sebuah amplop cokelat yang di dalamnya sudah berisi tumpukan kertas agak tebal, aku menduga itu adalah uang.

"Mohon Bapak menerima ini sebagai ungkapan permintaan maaf kami." Ucap Anton kemudian sambil meletakkan amplop tersebut tepat di hadapanku.

"Anda sudah berkeluarga?" Tanyaku.

"Belum Pak." Jawab Anton.

"Pantas saja Anda begitu mudah mengungkapkan solusi atas masalah ini."

"Saya dan khususnya Bupati Rauf sangat mengerti apa yang Bapak dan keluarga alami, tapi mohon kebijaksanaanya agar masalah ini tidak menimbulkan masalah baru."

"Apa maksudmu? Anda mengancam Saya?!" Hardikku.

"Bukan begitu Pak, Saya sama sekali tidak mengancam Bapak. Saya hanya ingin Bapak berbaik hati untuk memaafkan Raka atas perbuatannya, bagaimanapun dia masih muda, masa depannya masih panjang, kasihan kalau masa mudanya dihabiskan di balik penjara."

"Justru dengan memenjarakannya itu akan mendidik dia dengan benar ! Jika saja Kau punya anak perempuan, mungkin Kau tidak akan mendatangiku dan membicarakan omong kosong seperti ini !" Aku benar-benar emosi, basa-basiku terhadap orang suruhan Bupati Rauf ini sudah hilang.

"Baik jika itu yang Bapak inginkan, sekali lagi Saya datang ke sini dengan niat baik, sama sekali tidak ada maksud untuk membuat Bapak marah. Saya berharap Bapak mau memikirkan tawaran yang disampaikan oleh Bupati Rauf ini."

"Sampaikan salamku pada Bupati Rauf dan bawa ini kembali." Aku menyerahkan kembali amplop yang berada di atas meja kerjaku.

"Saya pamit jika begitu, akan Saya sampaikan pesan Bapak kepada Bupati Rauf. Selamat siang." Anton kemudian beranjak dari tempat duduknya dan pergi dari ruang kerjaku.

*BERSAMBUNG*



PAPA HERMAN ~ CINTA TERLARANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang