Bab 14 :: Ekspos

662 108 12
                                    

Jarum menunjuk angka sepuluh ketika aku mendekati Ten yang baru tersadar dengan segelas air di tangan. Aku mengambil langkah agak cepat, menaruh air di atas meja, lalu membantu Ten menyandarkan punggung pada kepala ranjang.

"Bagaimana keadaanmu?" tanyaku, memosisikan diri duduk di pinggir ranjang dan mendapati wajah Ten yang masih pucat sejak beberapa menit lalu.

Kuakui bahwa kegiatan eksorsis asal beberapa menit lalu tak hanya berdampak baik, namun juga buruk, sangat buruk. Ten dan Mark mendapat pukulan rasa terkejut amat dahsyat dan aku tidak mengerti cara terbaik untuk menenangkan mereka.

"Apa yang terjadi padaku?" adalah kalimat pertama yang keluar dari mulut Ten, sebagaimana yang memang telah diduga. Beruntung aku sudah menyusun kebohongan sebaik mungkin. Bagaimanapun, aku tidak mengerti cara terbaik untuk jujur padanya, sehingga membentuk jawaban bohong adalah apa yang kulakukan. Mungkin ketika ia sudah siap, aku akan memberitahu kebenaran mengenai fakta itu.

"Kupikir kau kelelahan," kataku. "Kau pingsan di dekat dapur saat aku masuk untuk makan malam. Tidak kusangka bahwa kau akan pingsan sebegini lama."

"Begitukah?" Wajah pucat pasi tanpa ekspresi, namun ada sekelebat rasa lelah yang terpatri. "Aku tidak ingat mengapa aku pingㅡ" Sebelum ia mampu menyelesaikan kalimat, sebelah tangan sudah terangkat demi menutup mulut.

Wajah Ten berubah semakin pucat dengan mata membelalak seperti ikan mati siap busuk. Ia bangkit tergesa-gesa dari ranjang, melesat ke luar pintu dan meraih kamar mandi di dekat dapur. Aku mengekor dan mendengar suara muntahan cukup keras. Lantas mendesis nyeri. Dia pasti merasa mual mengingat seberapa banyak makanan yang dimasukkan Jisung ke dalam tubuhnya secara tak manusiawi. Aku harus membeli beberapa obat buatnya besok.

Baru akan menyusul Ten, sekadar membantunya mengeluarkan segala hal mengganjal yang mengaduk perut, suara sedikit ricuh dari pintu depan mengalihkanku. Aku melangkah menjauhi kamar mandi dan berdiri di tengah-tengah ruang utama, titik antara pintu depan dengan bagian belakang rumah. Sejenak menolehkan kepala demi menatap jam yang menampilkan pukul nyaris sebelas, sambil berharap cemas bahwa orang ribut di depan pintu adalah Paman Johnny, pemilik janji pulang malam ini. Bukan sekelompok perampok yang bahkan bisa membunuhku dan Ten tanpa perlawanan lebih.

Aku harus bersyukur bahwa desahan Paman Johnny-lah yang terdengar selanjutnya, berikut pintu terayun terbuka dengan sosok tinggi menyeret kaki agak sempoyongan. Namun aku agak kecewa ketika mendapati tak hanya ia yang melewati pintu, namun juga Jungwoo, terbopong lemah di sampingnya. Kedua orang itu tampak tak sama-sama baik, dengan Jungwoo yang terparah. Bau alkohol memancar ke seluruh ruangan.

"Lepas sepatumu dulu, Jungwoo," gumam Paman Johnny. Ia berusaha menahan diri tak terjatuh dengan menyandarkan bahu pada tembok ketika sebelah tangan berusaha membuka sepatu, sementara satu yang lain menahan tubuh Jungwoo.

Jungwoo tertawa. "Lepaskan untukku, Pak," katanya. "Lepaskan juga seluruh bajuku."

Aku membelalak. Dia bilang apa? Tindakan tak senonoh macam apa yang berusaha ia sajikan di hadapanku? Lantas, aku tak bisa bergerak, terlalu terkejut dengan apa yang terjadi selanjutnya. Jungwoo mencium Paman di bibir, membuat mataku membelalak lebih lebar berkali-kali lipat, sama sekali tidak memiliki kekuatan untuk mengatakan apa pun, atau sekadar menghentikan segala kegiatan yang berusaha mereka lakukan saat ini.

"C-cukup, Jungwoo! Kau mabuk." Kedua mata Paman yang sayu berusaha sekuat mungkin untuk tetap sadar. Dadanya bergerak cukup intens meraup udara, sebab Jungwoo terus mencuri ciuman dari bibirnya. Aku bersumpah ini adalah hal paling cabul yang pernah kulihat! Tak heran apabila wajahku memanas hingga merah.

"Ayo tidur bersama, Pak ...."

"Sepertinya kalian memang butuh kamar, Johnny."

Suara Ten yang muncul tiba-tiba membuatku tersentak di tempat dan langsung menoleh ke belakang.

[✓] Lucid Dream [Bahasa]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang