"Azura." Seorang gadis tengah tersenyum sambil mengusap kedua pipi Azura. Cowok itu ikut tersenyum sambil memegang tangan gadis itu, matanya terpejam merasakan semilir angin yang lewat, walau matahari berada di puncak tidak menghalangi mereka untuk berpiknik menikmati musim semi yang indah.
"Azura, kapan kamu kembali bertugas?" Tanya gadis itu.
"Satu minggu lagi. Aku akan dikirim ke perbatasan sekitar tiga bulan." Jawab Azura. Gadis itu mendengus, tidak senang, ia harus berpisah dan menunggu lagi.
"Kenapa cepat sekali? Kita bahkan baru bertemu lima hari."
"Sedang ada perang, semua pasukan ditarik menuju perbatasan. Doakan saja perang cepat selesai dan aku bisa kembali." Azura menatap gadis itu, bibirnya tertarik membuat sebuah simpul, ia bangun dari pangkuan gadis itu lalu duduk, tangannya terjulur mengusap rambut gadis itu.
"Kau harus berjanji, pulang dengan keadaan selamat, tidak terluka dan utuh."
"Ya, aku berjanji." Azura menyentuh pipi gadis itu, tubuhnya mendekat, seiring jarak yang terkikis diantara mereka mata Azura dan gadis itu terpejam, butuh waktu beberapa detik untuk bibir Azura mendarat di atas bibir gadis itu namun sebelum itu terjadi gadis itu keburu menghilang. Azura bisa merasakan hembusan angin menerpa wajahnya, tangannya terasa kosong, merasa ada yang aneh Azura langsung membuka matanya.
Pada saat Azura membuka mata dan mencari keberadaan gadis itu semua yang berada di sekitar Azura tiba-tiba saja berubah, tidak ada lagi hamparan rumput tebal yang luas, tidak ada lagi pepohonan yang rindang, bahkan matahari tidak lagi ada di atasnya.
Azura mengernyit, ia bangkit lalu samar-samar ia mendengar teriakan yang disusul oleh bom dan juga tembakan dimana-mana. Mata Azura membulat, ia ngedarkan pandangan kesegala penjuru arah, ia sungguh familiar dengan tempat ini. Tempat ini adalah desa yang tak jauh dari perbatasan dan ia ternyata tengah berada di dalam medan perang.
Alis Azura tertekuk, ia berjalan dengan linglung. Bingung kenapa ia bisa berada disini padahal jelas-jelas Azura tengah menikmati piknik bersama kekasihnya.
"Azura!" Teriakan itu membuat Azura menoleh pada sumber suara. Matanya menangkap seorang cowok tengah mendekatinya sambil membawa dua senjata laras panjang.
"Kamu tidak apa-apa? Syukurlah kamu selamat dari ledakan bom itu." Cowok itu menoleh ke kanan dan kekiri dengan sangat waspada, seperti takut jikalau ada yang mengintai mereka. "Dimana senjatamu?"
"I..itu." Benar, dimana senjata Azura? Bahkan Azura tidak ingat jika ia membawa senjata.
"Sudahlah. Pakai ini." Cowok itu memberikan salah satu senjatanya pada Azura. "Sekarang ayo ikut aku mencari korban selamat lainnya dan membawa mereka ke pos darurat."
Tanpa menunggu tanggapan Azura, cowok itu langsung melangkahkan kakinya menuju ke perumahan yang sudah hancur dan menyisakan puing-puing bekas bangunan yang memunculkan asap seperti habis terbakar. Azura ikut menyusul langkah cowok itu namun sedetik kemudian ia terdiam, ada rasa nyeri yang tersebar di pelipis matanya juga ada sesuatu yang mengalir disana. Tangan Azura terangkat menyentuh pelipisnya yang sudah berdenyut nyeri, Azura sedikit meringis ia melihat noda darah yang mengotori tangannya.
"Azura... Azura!" Teriakan itu membuat Azura mengalihkan fokusnya dari noda darah menuju cowok yang tadi bersamanya. Air muka cowok itu nampak panik, ia berlari tunggang langgang mendekati Azura sambil berteriak.
"Azura! Awas!" Azura mengerutkan alisnya, ia mendengar suara gemuruh yang kian mengeras diatas kepalanya, dengan penasaran Azura menggerakkan kepalanya, mendongak melihat ke atas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ocean Eyes
Teen FictionAzura terjebak dalam relung waktunya yang sudah berhenti lama. Berulang kali Azura harus menyaksikan kematian orang yang ia cintai secara langsung. Takdir benar-benar kejam kepadanya. Memaksanya untuk hidup dan menjalani semuanya dengan patuh. Ketik...