2

13K 292 13
                                    

[Istrinya cantik, Gus]

Muncul sebuah pesan singkat beserta foto gadis yang baru saja kunikahi terlampir dari kontak yang berbintang. Mazaya.

[Tetap njenengan yang tercantik] kukirim pesan balasan.

[Tapi aku bukan istrimu] sebuah emot sedih disisipkan.

[Segera. Aku menunggumu, Ning Mazaya Muntaha, sampai kapanpun]

Tak ada balasan. Kuletakan benda pipih di meja kembali.

Aku menghela napas panjang, seraya bersandar pada punggung sofa, menjadikan kedua tangan sebagai bantalan. Satu jam lagi waktu Asar, masih ada waktu untuk istirahat setelah acara pernikahan tadi. Ingatan kembali berputar saat obrolan dengan Abah tiga hari setelah kepulanganku.

"Sebab Ning Maza belum mau kamu ikat, nikahi saja Sabrina. Dia gadis baik-baik, cantik, dan insyaallah taat. Dia teman Abah dulu di pesantren."

"Bah, ini bukan lagi jaman Siti Nurbaya. Kenapa harus ada perjodohan seperti ini. Aku bisa membujuk Maza untuk menikah tahun ini." Pandangku tertuju pada pria yang kutakzimi. Rambutnya sudah sempurna memutih, ditutup kopiah berwarna senada.

"Sampai kapan, Le ... ini sudah tahun keempat sejak kamu memintanya dulu. Ning Maza masih asik dengan studinya. Dia belum ser kamu jadikan istri. Sedangkan kamu? Umur sudah kepala tiga punjul, masih mau membujang?" Kini Umi yang berkata. Wajahnya memberengut tampaknya ia kecewa. "Lagian, lama-lama kenalan malah jadi fitnah, Zam ...." imbuhnya.

"Mi kami gak pacaran, kok. Kami masih menjaga. Dan aku sabar menunggunya."

"Umi sama Abah yang enggak. Kami sudah pengen nimang cucu. Umur tidak ada yang tahu, Le ... mempercepat pernikahan itu baik. Jangan sampek nanti kamu belum menikah umi sudah--"

"Umi ... jangan seperti itu." Aku meraih tangannya yang lembut.

"Makanya, to, Zam ... Umi ngerti perasaanmu, Ning Maza memang cantik, solehah, juga punya segudang prestasi. Tapi meskipun Sabrina bukan turunan Kiyai, bukan lulusan luar negeri, Umi yakin, dia bisa jadi istri yang baik untuk kamu," ujar Umi lirih. Membalas genggaman tanganku erat.

Aku mengusah wajah. Menarik napas panjang. Mungkin ini adalah keputusan yang terbaik. "Iya, Izzam bersedia. Tapi ada syaratnya."

"Alhamdulillah." Mereka bertahmid hampir bersamaan.

Abah dan Umi saling berpandangan berbalas senyum. Guratan kebahagiaan tergambar di wajah mereka.

Mana bisa aku menolak jika Umi telah berkata demikian. Rasa cinta dan sayang ini begitu besar pada wanita tegar di mana letak surgaku ada di kakinya. Tidak mungkin aku membuatnya kecewa dengan penolak permintaannya.

"Kamu minta syarat apa?" Ucap Abah.

Aku berdeham. Membasahi tenggorokan yang tiba-tiba terasa kering. Mengumpulkan keberanian untuk berucap. "Pertama, pernikahan akan diadakan secara sederhana."

"Gak masalah. Toh menikah yang penting sah. Iya, kan, Umi?" Abah menatap Umi minta persetujuan. Umi hanya mengangguk dengan senyum mengembang.

"Kedua, layaknya Abah yang punya empat istri. Izinkan Izzam berpoligami nantinya."

Abah mengerutkan kening, dan Umi seketika menatapku tajam. Air mukanya seketika berubah sedih. "Zam!" pekiknya.

"Itu urusan gampang!" tukas Abah.

"Bah!" Umi membulat mata melihat ke arah suaminya. 

Abah hanya terkekeh seraya meninggal ruang keluarga diikuti Umi yang masih berargumentasi.

JODOH PILIHAN KIYAI (Terbit Novel & Ebook)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang