Wajah Sabrina pucat, kusam masai dengan mata bengkak sebab banyak menangis. Tak kulihat kilat semangat di iris matanya yang bulat. Redup. Terkungkung kesedihan atas kematian ayahnya.
Pelukan dan dekapanku tak mampu menghalau kesedihannya. Dia masih saja larut dalam duka mendalam. Dan itu, membuat bongkahan dalam dada ini teremas. Iba menatapnya. Sebagai anak perempuan satu-satunya pasti dia ingin membahagiakan ayahnya, tapi belum sempurna usahanya sang ayah sudah tutup usia.
Sejak kedatanganku di rumah sakit, gadis itu belum berhenti menangis. Pun ibunya yang beberapa kali tak sadarkan diri. Tak jarang aku mendapatinya tiba-tiba menangis sesenggukan di kamar atau selepas solat. Sambil mengadahkan tangan dalam doa yang ia panjatkan, hanya isak yang terdengar.
Tak tega rasanya melihatnya terpuruk terlalu lama dirundung duka, dan kehadiranku di rumah ini diharapkan mampu sedikit menghibur masa suram yang tengah ia dan ibunya dihadapi.
Aku berusah menghiburnya dengan bercerita tentang kekonyolanku di masa kecil. Menyembunyikan kitab Abah agar tidak berangkat mengaji atau membuang sendal Abah jika permintaanku tak dituruti. Sabrina hanya menanggapinya dengan senyum kaku, sepertinya ia belum sepenuhnya terhibur.
"Gus, baiknya njenengan besok gak usah ke sini saja. Biar saya ditemani ibu juga saudara," pintanya padaku di hari ketiga kematian ayahnya.
Pukul 21.12, Sabrina tengah sibuk menata baju-bajuku yang sore tadi kupakai, sepertinya sudah bersih dicuci untuk aku baca pulang ke pesantren. Sedangkan aku duduk di kursi dekat pembaringan menghadap Sabrina. Menunggunya memberekan pakaian sambil menikmati wedang jahe buatannya.
Selama masa berkabung, aku memang bolak balik pesantren. Datang bada asar untuk malam tahlilan dan langsung pulang ke pesantren, sedangkan Abah di Sumber Sari karena Ibu Kulsum yang sedang sakit.
Tidak mungkin meninggalkan Sabrina dan ibunya dalam keadaan seperti ini.
Rumah telah sepi, tinggal beberapa santri yang menungguku di luar dan akan kembali ke pesantren malam ini. Ya, selain warga sekitar aku juga meminta beberapa santri juga asatiz ikut dalam acara tahlilan.
"Memang kenapa kalau ke sini lagi?"
"Mboten nopo-nopo, Gus. Hanya ...." Sabrina menghentikan ucapan juga gerakan tangannya. Menatapku sesaat.
"Hanya apa?"
Terdengar embusan napasnya yang berat dan melanjutkan memasukkan baju ke dalam tas. "Lebih baik di pesantren saja, biar Kang Rayyan dan asatiz lain yang ke sini. Saya kasihan saja sama Guse, harus bolak balik pesantren."
"Kamu kasihan sama aku?"
"Injeh, Gus. "
"Yakin?" cecarku.
Sabrina menautkan kedua alisnya hingga hampir menyatu. "Sak estu, Gus." Sabrina menyakinkanku sambil memberengut. Mungkin kesal aku menggodanya.
"Awas, lo, dari kasihan nanti bisa jadi sayang," candaku dengan menatapnya lekat.
"Kulo memang sayang sama Guse, kok," lirih Sabrina yang langsung menunduk.
Aku tercengang dengan jawabannya yang spontan dan sempat menangkap semburat merah jambu di pipi putih itu. Hatiku berdesir seketika. Ada gejolak yang membuncah di jiwa. Tak heran, karena sejak awal Sabrina memang begitu perhatian, menyiapkan segala keperluanku tanpa keluhan.
Ah, ingin rasanya merangkum wajah yang masih tertunduk itu.
Malam kian larut, di luar masih terdengar riuh para santri yang bercapak di depan rumah tapi tak menghentikan detak jantung yang berpacu kuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
JODOH PILIHAN KIYAI (Terbit Novel & Ebook)
General FictionTentang Gus Izzam yang dijodohkan dengan Sabrina, anak dari sahabat Abahnya. Pernikahan yang tak ia harapkan karena dalam hatinya ada gadis pujaan, Ning Mazaya. Gus Izzam menyetujui pernikahan dengan syarat Sabrina mau dipoligami. Akankah cinta tumb...