Mobil melaju dengan kecepatan sedang membelah jalanan menuju Sumbersari Untung lalu lintas tak begitu padat. Jadi sebelum dzuhur kami akan sampai di rumah Ibu Kulsum.
Sebenarnya aku ingin menanyakan prihal selisih angka laporan penjualan sapi pada Rayyan. Namun sepertinya kurang pas jika ada Sabrina ikut menyimak.
"Apa kabar umimu, Le?" tanya Ibu Kulsum saat kami sedang di ruang tamu setelah makan siang. Sabrina masih mencuci piring di dapur, sedangkan Rayyan mengambil barang yang katanya tertinggal.
"Alhamdullilah, Bu, baik. Umi juga titip salam tadi. Katanya njengan diminta sering-sering berkunjung ke pesantren.
Wanita berkerudung hitam itu tersenyum, menampakan lesung di pipi kirinya. "Maaf, Ibu gak bisa bantu-bantu di pesantren. Alhamdullilah, usaha katering setengah tahun lebih ramai dari sebelumnya, Zam. Jadi Ibu gak bisa sering-sering berkunjung kecuali ada acara penting."
Aku mengangguk tanda mengerti. Selain itu juga, mungkin Ibu Kulsum sungkan datang ke pesantren sebagai istri kedua Abah. Meksipun Umi selalu memperlakukannya dengan baik, tak membedakan dengan istri Abah yang lain. Bagaimana pun kehadirannya selalu mengundang perhatian pesantren. Selain wajahnya yang cantik juga karena statusnya. Terakhir ia berkunjung saat pernikahanku dengan Sabrina.
"Oh, iya, Zam, Ibu ingin mengatakan sesuatu."
"Monggo silahkan, Bu."
Wajah Ibu Kulsum tampak tegang. Jemarinya saling bertautan. Aku mengerutkan dahi sesaat, penasaran dengan apa yang ingin ia bicarakan.
"Tapi, sebelumnya Ibu minta maaf kalau kata-kata Ibu nanti tidak berkenan di hatimu."
"Injeh, Bu ...." Kuulas senyum agar ia merasa nyaman. "Bagaimanapun, Ibu adalah istri Abah. Itu berarti kedudukan Ibu sama seperti Umi. Yang berhak menasehati saya, juga wajib saya takdzimi dan hormati." Aku menegaskan.
"Jadi, sebelum pernikahanmu dengan Sabrina. Umimu bercerita kalau kamu bersedia menikahi gadis itu dengan syarat. Salah satunya kamu akan ta'adud nantinya, benarkah?"
"Injeh, Bu. Leres (benar)."
Terdengar Ibu Kulsum menghela napas panjang. Menatapku dalam.
"Apa tidak kamu pikirkan lagi niatanmu itu, Le ... ta'adud memang tidak dilarang oleh agama, tapi sebagai perempuan Ibu juga tidak berkenan kalau kamu juga meniru jejak Abahmu. Cukup Umimu dan Ibu saja yang merasaknya. Jangan istrimu juga."
Aku terdiam untuk sesaat. Mencerna kalimat demi kalimat yang diucapkan oleh ibunda Rayyan. Ibu Kulsum wanita yang sangat sensitif dan sedikit tertutup. Berbeda dengan Umi yang ramah dan terbuka. Makanya ia lebih memilih tinggal di luar pesantren jauh dari Abah kertimbang tinggal di rumah yang sudah disediakan Umi dekat pesantren.
Mungkin itu juga alasan Ibu Kulsum berkata demikian, karena kekhawatirannya kalau-kalau Sabrina akan tersingkir seperti dirinya atau malah Mazaya yang kalah. Namun, tekadku sudah bulat, selain aku yakin Sabrina akan menerima dipoligami, Ning Mazaya pun dengan pemikirannya yang terbuka akan mampu beradaptasi dengan Sabrina dengan cepat.
Seketika, ingatanku tertuju pada Ning Mazaya. 'Kapan kamu pulang, Ning. Sejak ponselku mati, kamu tak pernah menghubungiku lagi.' Aku berharap gadis Kediri itu menghubungiku terlebih dahulu.
"Zam ...." panggilan Ibu Kulsum menyadarkanku.
Aku berdeham untuk mengusai diri. "Bu, jangan khawatir. Saya akan berusaha seadil mungkin juga akan mengayomi istri-istriku dengan baik nantinya."
"Tapi--"
"Wah, Mas Izzam sama Ibu sepertinya ngobrol serius sekali." Rayyan datang dari arah kamarnya menuju sofa yang aku duduki.
KAMU SEDANG MEMBACA
JODOH PILIHAN KIYAI (Terbit Novel & Ebook)
General FictionTentang Gus Izzam yang dijodohkan dengan Sabrina, anak dari sahabat Abahnya. Pernikahan yang tak ia harapkan karena dalam hatinya ada gadis pujaan, Ning Mazaya. Gus Izzam menyetujui pernikahan dengan syarat Sabrina mau dipoligami. Akankah cinta tumb...