8

5.8K 232 17
                                    

Aku menunggu di kantor asatiz untuk bersiap mengikuti rapat pembahasan ujian madrasah yang akan dilaksanakan tiga pekan lagi saat ponsel berdering.

Sebuah pesan singkat. "Assalamualaikum, Gus." Nama Ning Mazaya tertera di sana.

Segera, aku menekan tombol panggilan untuk menghubunginya. Sekali, tak diangkat. Aku pun mencoba untuk panggilan kedua. Dan tersambung.

"Assalamualaikum, Ning."

"Walaikumsalam. Apa kabar, Gus?"

"Alhamdulillah, baik. Njenengan sendiri bagaimana?"

"Seperti biasa, Gus. Alhamdulillah, sehat."

Entah, aku merasa obrolan kali ini begitu canggung. Mungkin karena ini panggilan pertama kami setelah aku menikah, juga karena sebelumnya, kami sangat jarang melakukan panggilan jika bukan urusan penting saat di Turki. Kami lebih sering bertemu dan berkumpul bersama teman-teman yang berasal dari Indonesia.

"A-ada hal yang ingin saya sampaikan, Gus."

"Oh, monggo. Silahkan."

"Sa-saya--"

"Gus, monggo, rapat segera dimulai." Kang Rozak yang tiba-tiba muncul dari balik pintu memberi informasi.

"Oh, njenengan masih sibuk. Ya sudah nanti saya hubungi lagi," tukas Ning Mazaya di ujung telepon.

"Enggak, Ning, gak apa--"

Aku memberi isyarat pada Kang Rozak untuk menunggu dengan mengangkat satu tangan padanya.

"Mboten, Gus. Ini gak terlalu penting. Sekarang silahkan lanjutkan kerjaan dulu, nanti bisa kita sambung lagi. Assalamualaikum." Tanpa menunggu jawaban dariku, sambungan dari Ning Mazaya terputus.

"Ning? Ning?"

"Wa-waalaikumsalam," lirihku dengan menghela napas panjang, menyayangkan panggilan yang diputus sepihak.

Kang Rozak masih berdiri di ambang pintu, menunggu dengan wajah kebingungan. Mungkin ia menangkap kekecewaan yang kutunjukan.

"Maaf, Gus. Saya mengganggu," sesalnya.

"Enggak, gak apa-apa, kok. Panggilan dari teman. Nanti bisa disambung lagi. Ayo." Aku bangkit dari kursi dan berjalan mendahului pria bersongkok putih yang masih mematung.

Aku berhenti sejenak. Memutar tubuh menghadapnya. "Ayo, Kang!"

"Injeh, Gus." Pria itu pun menyusul di belakangku.

"Kamu sudah pulang anter Umi ke majlis ta'lim, to?" tanyaku sambil berjalan beriringan dengan Kang Rozak.

"Sampun, Gus. Tadi setelah anter langsung balik ke pesantren. Nanti sore tinggal jemput Bu Nyai sekaligus Mbak Sabrina."

"Nanti sore kasih tahu aku, yo. Aku juga mau ikut."

"Oh, injeh, Gus."

Sejak menikah dengan Sabrina , aku belum sempat soan ke rumah bapaknya. Mungkin inilah waktu yang tepat memberi salam penghormatan. Bagaimanapun, kini orang tua Sabrina juga orang tuaku.

Terlepas aku belum sepenuhnya menerima Sabrina dalam hati, tapi berbeda urusan jika itu masalah keluarga. Sebab, pernikahan bukan hanya menyatukan dua insan tapi juga dua famili yang diharapkan mampu menambah silaturahmi agar panjang umur dan lapang rezeki. Toh, suatu saat hati ini akan terbuka untuk gadis manis itu.

Sepintas terlintas kejadian saat betapa gemetar tubuh Sabrina kala duduk di sampingku tak urung membuat bibir ini tersenyum tipis. Gadis itu sangat polos ternyata.

JODOH PILIHAN KIYAI (Terbit Novel & Ebook)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang