4

6.1K 236 8
                                    

Aku masih duduk di teras menikmati mendung di sore hari, sambil menimang-nimang ponsel yang pecah pada bagian layarnya. Sangat menyayangkan benda pipih ini harus rusak. Selain ada beberapa file dan kontak penting di dalamnya juga ada beberapa foto saat aku di Turki yang belum sempat aku pindah ke laptop.

Mungkin Sabrina tidak sengaja melakukannya, tapi kecerobohannya itu sungguh tabiat buruk yang perlu diubah. Sebelumnya kebaya, sekarang ponsel, besok apa lagi?

Sebenarnya aku kasihan saat Sabrina ketakutan sampai menangis gara-gara HP, tapi lucu juga saat dia datang membawa celengan ayamnya. Sabrina ... Sabrina, polos sekali kamu. Berapa umurnya, ya?

"Ehem!"

Sebuah dehaman mengalihkan atensiku. Ternyata Kang Rozak yang tampak membawa sebuah map.

"Ngapuntes, Gus. Senyum-senyum sendiri, sepertinya masih berbunga-bunga." Kang Rozak yang tak kutahu kapan datangnya tiba-tiba sudah di beranda ndalem dengan menahan senyum.

"Ah, perasaan Kang Rozak saja. Ini, lo, HPku rusak. Kira-kira masih bisa diperbaiki gak, ya?" Aku berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Cobi kulo tingali." Lelaki bersarung itu mengapit map yang tadi dibawanya dengan lengan.

Aku menyerahkan ponsel pada kang ndalem yang sudah mengabdi pada pesantren selama 5 tahun itu. Tampak ia mencoba menekan tombol power tapi layar ponsel masih tetap tak menyala.

Selain piawai dalam mengurus ndalem, kang Rozak juga terkenal mahir dalam memperbaiki benda-benda elektronik. Mesin cuci, kulkas, pompa air, ampli pesantren semua dia yang tangani.

"Kok gak iso, yo?" Ia bergumam. "Kalau boleh tahu bagaimana bisa kok sampai rusak begini, Gus?" tanyanya.

"Gak tahu, mungkin kebanting Sabrina saat beberes. Aku juga yang salah si, lupa ngambil dari saku."

"O, kebanting Mbak Sabrina," jawabnya dengan mengangguk dan tersenyum tipis. "Mbak Sabrina berani juga, ya." Lanjutnya lagi.

"Sebenarnya gak apa-apa kalau gak ada file penting di dalamnya. Toh, namanya juga barang, pasti ada kalanya rusak atau hilang. Gak kekal. Ya, to?"

"Injeh, Gus. Nanti coba saya bawa ke kamar, siapa tahu masih bisa dibenerin."

"Boleh, asal tidak merepotkan Kang Rozak saja."

"Njeh, mboten, to, Gus ... saya malah seneng bisa membantu njenengan. Sebuah kehormatan bagi saya bisa pegang HPnya Gus Izzam," jawabnya seraya memasukkan ponsel ke saku kemeja.

"Halah, berlebihan kamu ini, Kang. Oh, ya? Ada perlu dengan Abah?"

"Ow, mboten. Ini saya mau menyerahkan laporan hasil penjualan sapi bulan ini. Kata Abah mulai sekarang yang ngurus njenengan lagi."

"Ow, iya, iya." Aku meraih map berwarna abu-abu.

Setelah kang Rozak berpamitan, aku pun bergegas untuk bersiap solat Maghrib.

***

"Zam ... Umi mau tanya soal ... niatanmu ta'adud, apa kamu serius?" Umi menatapku lembut. "Kebanyakan perempuan itu gak mau, lo, Le ... diwayuh." Lanjutnya lagi.

Matahari sepenuhnya tenggelam. Kami masih duduk di pendopo, menikmati langit yang menumpahkan air. Sudah seminggu, musim penghujan telah tiba.

Aku tahu kegelisahan yang dialami Umi. Memiliki madu lebih dari satu pasti tidak mudah baginya. Namun, wanita tegar ini tak pernah menunjukkan kesedihannya pada suaminya, Abah.

"Mi ... kalau Sabrina seperti yang Umi katakan, Izzam yakin, dia juga akan tegar dan ikhlas kalau aku menikah dengan Mazaya."

"Tapi, Zam ...."

JODOH PILIHAN KIYAI (Terbit Novel & Ebook)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang