Terima kasih untuk yang bantu koreksi, jangan lupa bantu lagi ya.
Est... jangan lupa juga baca kisah lainya. Ada yang udah tamat 😢
Sudah pukul lima pagi dan Windari belum juga turun. Membuat Langit kesal. Ia juga butuh mandi, ganti pakaian dan bekerja. Tetapi berkat gadis itu semua bisa kacau. Menghela, Langit menaiki anak tangga, ia mengetuk pintu sembari memanggil Windari beberapa kali.
Namun pintu tak juga membuka, membuat Langit menghela dan memilih masuk ke dalam. Ia berdecak melihat Windari bergelut nyaman di bawah selimut. Ini kamarnya, seharunya ia yang masih terlelap di balik selimut hangat itu.
"Windari bangun," kata Langit mendekat. Tidak juga mendapat respons, Langit mengguncang bahu gadis itu agar segera membuka mata. "Bangun. Sudah siang."
Merasa terganggu Windari menggeliat, ia melotot melihat Langit begitu dekat dengannya. "Kenapa Om ada di sini? Apa yang Om lakukan padaku." Windari mendorong dada Langit menjauh, ia bangkit dan memeluk selimut dengan erat.
"Bangun. Sekarang sudah pukul setengah enam. Kamu mau terlambat ke sekolah," kata Langit setelah memutar mata. Bisa-bisanya gadis ini berpikir ia telah melakukan sesuatu.
"Benarkah?"
Muka panik Windari membuat Langit kian kesal. "Iya. Sekarang cepat bersiap dan turun. Aku juga butuh memakai kamar mandi."
"Oke, Om." Windari menyibak selimut dan turun dari rajang. "Om bisa menunggu di bawah, aku tak akan lama," kata Windari menatap Langit dengan memohon.
Tidak ada jawaban dari Langit, tapi lelaki itu undur diri dan keluar dari kamar. Tersenyum, Windari mandi dengan cepat. Lima belas menit kemudian Windari sudah duduk manis di meja makan, menunggu Langit yang tengah membersihkan diri.
Windari sedang mengecek tas sekolahnya saat tak menemukan buku Nuansa, teman sekolahnya. Seingatnya tadi malam ia sudah menyusun semua menjadi satu, tapi kenapa sekarang tak ada.
Mengingat sesuatu Windari bangkit, ia bergegas naik dan mengetuk pintu kamar. "Om Langit," panggil Windari. Tidak ada sahutan, yakin Langit masih di kamar mandi, Windari membuka pintu, mengamati sekitar dan berlari masuk. Dia mengambil buku bersampul hitam milik Nuansa dan hendak kembali berlari keluar saat pintu kamar mandi terbuka.
Windari mengaga, lalu dua detik kemudian dia menjerit sembari menutup wajah dengan kedua tangan.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" Langit mengerutkan kening, ia berdecak saat Windari lagi-lagi menjerit.
"Jangan mendekat, Om. Om sudah menodai mataku."
Langit memutar mata, ia memilih berjalan ke arah lemari dan mengambil pakaian miliknya. "Keluarlah. Atau matamu akan melihat sesuatu yang mengagumkan."
Windari menjerit lagi, ia bergegas melarikan diri dengan jantung bergemuruh. Melihat tubuh telanjang Langit sungguh godaan paling menyiksa. Roti sobek di perut lelaki itu luar biasa memukau, Windari ingin sekali menyentuh dan mengelusnya.
Memukul kepalanya, Windari bergegas berlari ke lantai bawah. Ia membodohi diri sendiri. Bagaimana ia harus bersikap saat bertemu tatap dengan Langit lagi?
Windari menghela, ia menjatuhkan kepala ke atas meja. Menendang udara dengan gerutuan yang terus keluar dari mulut. Menyebalkan sekali hari ini.
"Sudah sarapan?"
Tubuh Windari kaku, ia tak berani menoleh ke belakang. Bahkan ia masih tak berani menatap Langit saat lelaki itu sudah duduk di depanya.
"Sudah sarapan belum?" tanya Langit lagi. Ia melirik meja makan. "Hanya roti memang, tapi itu cukup bagus untuk menganjal perut."
KAMU SEDANG MEMBACA
Emergency Love (TAMAT)
RomanceWindari mengajukan empat syarat penting sebelum Langit menikahinya. Pertama dia tidak mau pernikahan mereka diketahui banyak orang, terutama pihak sekolah dan teman-temannya. Kedua dia tidak mau berhubungan layaknya suami istri sebelum usia dua pu...