Enam

16.8K 1.6K 130
                                    

Tiga menit setelah Tante Alma permisi ke kamar mandi, Windari menghela. Ia menatap Langit yang duduk sembari memainkan ponsel dengan mata berkaca. Pakaian lelaki itu belum ganti, masih memakai kaus abu-abu dan celana selutut. Meski begitu Langit tetap kelihatan tampan.

Mengusap air mata yang kembali menetes kala mengingat penyakit yang di derita Tante Alma. Windari menunduk sedih sebelum memanggil Langit dengan suara pelan. Ia ingin berbicara sesuatu pada lelaki itu.

"Ada apa?" Langit sudah duduk di dekatnya, tapi ia masih ragu untuk membuka mulut.

Menyampirkan rambut ke samping telinga, Windari kembali meletakan tangan di pangkuan. "Aku mau," katanya menatap Langit sembari meremas kedua tangan.

"Mau apa, minum?" tanya Langit kebingungan. Lelaki itu bangkit untuk mengambilkan minuman saat melihat Windari menggeleng. "Lalu kamu mau apa?" Langit kembali duduk. Keningnya berkerut menatap gadis di hadapan.

Menggigit bibir, Windari mengalihkan pandang, sebelum kembali menatap Langit. "Aku mau menikah dengan Om sekarang," katanya pelan.

“Kamu gila, ya?” ucap Langit shock, ia menatap Windari dengan mata melotot. Aneh sekali gadis di hadapannya ini. Tiba-tiba saja minta menikah, sedang beberapa jam lalu masih ketakutan.

“Aku hanya ingin menikah saja,” katanya pelan. Windari memejamkan mata, ia menghela berat. Setelah mendengar tentang penyakit Leukemia yang di derita Tante Alma, ia menjadi sangat takut kehilangan lagi. Apalagi Tante Alma sudah ia anggap sebagai ibu, ia ingin membahagiakan wanita itu. Mungkin menikah dengan Langit bisa sedikit membuat Tante Alma bahagia sebelum pergi untuk berobat.

"Kenapa tiba-tiba?"

Pertanyaan Langit dengan nada tak senang membuatnya memberanikan diri menatap lelaki dewasa di hadapan. Ia gelisah, tatapan Langit begitu  tajam. Tidak kuasa, Windari kembali menunduk.

"Kamu tidak perlu melakukan hal  extrim ini untuk membuat Kak Alma senang,” kata Langit menggelengkan kepala.

Berdecih, Windari kembali menatap Langit dengan kesal. Ia memberi lelaki itu tatapan tajam. Hilang sudah rasa takutnya pada Langit setelah mendengar tuduhan lelaki itu yang sedikit banyak benar adanya.

"Om pernah berpikir tidak. Bukan aku yang paling dikhawatirkan Tante Alma, tapi Om," kata Windari sedikit meninggikan nada suara.

Masih sangat jelas dalam ingatannya. Tante Alma yang sering mengeluh saat membicarakan Langit. Wanita itu selalu berkata takut Langit tak menikah-menikah juga sedang usia sudah semakin matang.

Langit menaikkan sebelah alis, dia bersedekap dan menatap Windari. "Jadi kamu mau dijadikan tumbal? Menikah denganku karena sebuah keterpaksaan. Terima kasih, aku tidak mau menikah sekarang. Apalagi risiko gagal teramat besar. Kamu juga masih terlalu muda untukku."

Windari menggeleng. "Bukan tumbal. Aku mau menikah karena ingin membuat pikiran Tante Alma tetap tenang selama menjalani pengobatan. Lagian menikah sekarang atau empat tahun yang akan datang sama saja."

"Memangnya kamu mencintaiku?" tanya Langit membuat Windari menggeleng dengan cepat. "Lalu kenapa menikah? Bukannya  kamu mau menikah setelah ada cinta di antara kedua bela pihak."

"Itu dulu. Tapi sekarang situasinya berbeda. Memangnya Om tidak mau membuat Tante Alma senang sedikit sebelum keberangkatannya.”

Langit mendengkus, dia mengacak rambut. Menatap Windari, Langit menghela. Ia bingung sekarang, di satu sisi ia membenarkan ucapan Windari, memberi kebahagiaan untuk Kakak perempuannya itu bagus. Tetapi di sisi lain ia ragu. Takut pernikahan ini tidak berhasil seperti teman-teman baiknya.

Emergency Love (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang