Lima

15.3K 1.5K 39
                                    


Langit melirik Windari, sejak memasuki mobil gadis itu terus terdiam. Entah apa yang salah, Langit tak tahu. Sudah ia tanyai, tapi Windari hanya menggeleng. Karena tak ingin mengangguk lebih lama, akhirnya ia juga memilih tutup mulut. Akan tetapi, lama-kelamaan ia bosan juga.

Apa lagi sesekali  Windari tertangkap basah sedang memperhatikannya.  "Ada apa denganmu? Kenapa kamu terus menatapku?" tanya Langit tak tahan lagi. Ia menepikan mobil di tempat kemarin. Mereka sudah tiba, tapi Langit tak ingin Windari keluar sekarang juga. 

"Ehh tidak. Bukan apa-apa kok." Windari yang tersentak membuat Langit mengerutkan kening, ia menatap gadis di sampingnya dengan tajam.

"Katakan saja. Aku tidak suka ada kebohongan," kata Langit tanpa mengalihkan pandangan. Ia menunggu dengan sabar, menaikkan alis saat pergerakan Windari tampak gelisah. Membuka dan menutup mulutnya.

Memainkan jemari di pangkuan, Windari mendongak, ia terdiam saat tatapan Langit begitu dalam. "Om." Windari menelan ludah. "Om, apa sebaiknya aku tinggal di rumah Tante Alma saja," kata Windari kembali menunduk.

Menatap Langit terlalu lama sungguh ia tak kuasa. Ada rasa takut dan khawatir. Ia masih yakin tak menyukai Langit, meski ia juga tak membenci Langit seperti beberapa tahun lalu, tapi tetap saja Langit itu menyebalkan.

"Jika kamu berani, aku tidak masalah. Jika tidak terlalu sibuk aku akan sering berkunjung selama Kak Alma tidak ada."

Windari menunduk, ia meremas kedua tangan. Ada banyak ketakutan yang membuat jantungnya berdebar dengan kuat. Akan tetapi jika ia tak mencoba sekarang, kapan lagi. "Aku harus mencobanya. Tidak mungkin selamanya aku akan di landa ketakutan." Windari memejamkan mata, ia menghela dan menyandarkan tubuhnya lebih dalam.

Andai mimpi buruk itu tidak pernah terjadi, sudah pasti ia tidak perlu ada di posisi ini. Ayah, ibu serta kakak lelakinya pasti masih ada, bersamanya berbagi tawa.

Namun, Tuhan punya rencana lain. Kini mereka di pisahkan ruang dan waktu. Tidak ada yang bisa dilakukan Windari selain berdoa untuk keluarganya.

"Aku tidak masalah. Tapi percayalah sesuatu yang dipaksakan itu tidak baik. Jika kamu memang yakin dan berani tinggal sendiri di sana, aku akan membantu berbicara dengan Kak Alma. Tapi jika tidak berani, tetaplah tinggal di Apartemen. Kita tidak akan apa-apa selama bisa menjaga diri masing-masing."

Windari menatap Langit dengan senyum tipis, ia sangat menghargai nasehat Langit. "Aku akan mencobanya. Mungkin sudah saatnya aku belajar menjadi lebih mandiri." Windari menenggakkan posisi, ia mencoba optimis akan keputusannya.

Sudah sering ia belajar melihat api, tapi trauma itu masih ada. Terkurung di dalam rumah dengan lidah api berkibar-kibar mengelilingi membuat Windari sering kali merinding tiap kali mengingat kejadian itu.

"Nanti aku akan bantu bicara dengan Kak Alma." Langit tersenyum. "Sekarang turunlah," katanya lagi.

"Terima kasih, Om." Windari membuka pintu, ia keluar dan berbalik saat Langit memanggil. 

"Bawalah, bisa jadi hari ini akan hujan lagi. Aku belum tentu bisa menjemputmu." Langit mengulurkan payung dari jendela, ia tersenyum saat Windari sudah menerima payung lipat tersebut. "Aku pergi."

Windari mengangguk, ia menatap kepergian Langit dengan senyum merekah lebar. Mengobrol santai tanpa adu otot dengan Langit ternyata sangat menyenangkan. Windari ingin melakukannya lagi.

                                    *****
Tergesa Langit berjalan di sepanjang lorong rumah sakit, beberapa menit lalu ia baru saja mendapat kabar buruk tentang Windari. Kata Kak Alma gadis itu pingsan dan dilarikan ke rumah sakit.

Emergency Love (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang