Windari membuka dan menutup mulut, terkejut saat Langit kembali ke pertanyaan itu. Ia malas menjawab, tapi tatapan Langit membuatnya serba salah."Jadi kamu sudah memiliki pacar?"
"Tidak." Windari menggeleng tegas, tapi entah kenapa ia tak yakin Langit akan percaya. Tatapan lelaki itu membuat bulu kuduknya berdiri, ia gugup dan takut. Meremas kedua tangan, Windari merasa tubuhnya mengigil.
"Jika kamu sudah memiliki pacar, katakan saja. Itu bisa menjadi alasan paling bagus agar perjodohan kita segera di batalkan."
"Om benar. Tapi aku tidak punya pacar." Menyebalkan sekali jika Langit tak percaya. Andai ia punya pacar atau orang yang disukai sudah pasti ia akan memberi tahu Tante Alma dan ia yakin wanita itu juga tidak jadi menjodohkannya dengan Langit. Tetapi mau bagaimana lagi, ia memang tidak memiliki kekasih.
Menatap Windari, Langit menghela. "Ya sudah, ayo kita pulang," ajak Langit memegang lengan atas Windari dan mengajak melangkah bersama. Ia melirik Windari, gadis itu terus menundukkan kepala. Menghela, Langit menggeser payung ke arah gadis itu, tak peduli padanya yang mulai terkena tetesan hujan. Payung kecil ini tidak akan cukup untuk mereka berdua, sialnya ia juga tidak menyediakan payung lebih.
"Om." Windari menoleh, ia menggigit bibir saat Langit semakin erat memegang lengannya. Mendorong payung ke arah Langit, ia semakin merapat ke arah lelaki tersebut.
Diam-diam Langit tersenyum, ia membuka pintu mobil dan menyuruh Windari masuk lebih dulu.
"Om gak ada baju ganti?" tanya Windari meringis menatap baju Langit yang basah. Ia takut lelaki itu sakit, cuaca di luar sana sedang tidak mendukung, kemarin saat masih di rumah Tante Alma ia juga mendengar Langit yang terbatuk beberapa kali.
“Ada, tolong ambilkan di belakang,” kata Langit sembari membuka kancing kemejanya dengan cepat.
Windari mengangguk, ia bergegas menghadap ke belakang dan mengobrak-abrik tumpukan barang Langit untuk mencari kaos atau kemeja kering milik lelaki itu. “Ini, Om.” Windari menyerahkan kaus hitam yang ia temukan di bawah tumpukan berkas-berkas pada Langit, ia memekik saat menyadari lelaki itu sudah bertelanjang dada. “Om ngapain buka-bukaan di sini?” tanyanya sembari menutup kedua mata.
Kekehan Langit membuat Windari menggerutu kesal, ia memilih menghadap keluar jendela tanpa berani melirik Langit sedikit pun. Belum dua puluh empat jam mereka berdekatan, sudah dua kali ia melihat roti sobek lelaki itu yang sangat menggoda iman.
“Bahasamu, Win.” Langit menggeleng, ia memakai baju dan menyerahkan baju basahnya pada Windari. “Cuci ya,” kata Langit setelah gadis itu menoleh ke arahnya.
“Kenapa aku?” Windari melotot, ia kembali melempar baju basah Langit ke pangkuan lelaki itu.
“Jadi siapa? Kan kamu yang menumpang gratis di apartemenku,” kata Langit melempar baju basahnya ke belakang. “Sebagai balas jasa, kamu sebaiknya mencuci pakaiku.”
“Malas,” kata Windari cepat. “Aku gak minta di kirim ke tempat, Om.” Windari menyilangkan tangan di dada, ia menatap keluar jendela saat mobil mulai melaju.
Tidak ada pembahasan lain setelah itu, Langit hanya menggeleng sebelum memfokuskan mata ke jalanan. Saat tiba di Apartemen, hujan sudah mereda. Namun, mendung masih terus menyelimuti awan. Langit hanya mendesah sebelum turun dari mobil, ia menahan senyum saat Windari menggerutu sembari mengambil kemeja basahnya dari kursi belakang.
“Nanti kita Loudry saja,” kata Langit mengikuti jejak Windari yang memasuki lift. “Bisa mengamuk Kak Alma jika tahu kamu aku suruh mencuci.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Emergency Love (TAMAT)
RomanceWindari mengajukan empat syarat penting sebelum Langit menikahinya. Pertama dia tidak mau pernikahan mereka diketahui banyak orang, terutama pihak sekolah dan teman-temannya. Kedua dia tidak mau berhubungan layaknya suami istri sebelum usia dua pu...