Hari ini untuk pertama kalinya ku masuk ke kampus untuk mengikuti kegiatan wajib, OSPEK. Ya, sebenarnya kegiatan seperti ini paling tidak ku sukai. Terkadang isinya bullying, siksaan, dan balas dendam. Sama seperti MOS yang diadakan di SMP dan SMA. Aku paling benci dengan hal-hal semacam itu. Apalagi dikabarkan di televise mengenai korban bullying habis OSPEK. Semoga hal semacam itu tidak ada di sini.
Para mahsiswa baru berkumpul di kampus. Semuanya mengenakan almamater merah menyala. Dari sekian banyak itu, ada yang nampak berbeda. Ya, seorang pemuda kribo yang berjalan dengan slengekan. Baju dalamnya nampak keren dan mahal. Celana jeans biru dongker membalut celananya. Aku yakin orang itu bukan mahasiswa baru. Kemungkinan besar dia adalah kakak tingkatan yang menjadi panitia di kegiatan ini.
Dan dugaanku itu benar setelah ku lihat dia menyalami kakak-kakak panitia yang mengenakan name tag "panitia".
"Selamat pagi semua...." Sapanya kepada peserta.
"Pagi...."
"Kurang semangat. Selamat pagi...."
"Pagi......." Agak keras sedikit.
"Nah, gitu dong. Oke, gua berdiri di sini sebagai ketua panitia di kegiatan OSPEK ini. Oh, iya, perkenalkan nama gua Dion Prasetya. Lu semua bisa panggil gua Dion. Jadi, di kegiatan ini lu semua bakal diajarkan tentang kedisiplinan dan ketangkasan. Tidak ada satu pun di antara kalian yang membangkang atau membantah. Barang siapa yang membangkang, maka dia akan habis. Paham semua?" jelas Dion.
"Paham..." semua orang pasrah dan tak mau melawan. Aku sendiri bingung dengan keadaan ini. Gimana harus melawan kalau yang lainnya juga lembek. Siapa yang akan membantuku nanti kalua aku dikeroyok? Ada bau-bau bullying di sini. Aku harus memikirkan cara agar tak terkena imbasnya.
Seorang mahasiswa yang memakai name tag "panitia" berdiri di depan kami semua. Rambut panjangnya yang terurai dan mata lebarnya sakan menunjukkan kengerian. Dia menatap tajam ke arah kami semua. Tak ada senyuman walau sedetik. Dia membuka map yang berisi daftar nama dan kelompok. Dia lalu membagi kami menjadi 20 kelompok. Di fakultas Pendidikan Bahasa Asing hanya terdapat 300 mahasiswa baru, maka setiap kelompok ada 15 orang. Semua orang pun berbaris di kelompoknya masing-masing.
Kegiatan yang sebenarnya baru dimulai. Kami disuruh mempraktekkan PBB. Lalu lari mengelilingi lapangan 3 kali. Setelah itu kami disuruh push up 30 kali untuk yang laki-laki dan 15 untuk perempuan. Kalau cuma ini sih nggak ada masalah. Aku sudah terbiasa dengan hal-hal semacam ini di kampung. Ketika wanita berambut panjang dan bermuka seram itu mendatangi kelompok kami lalu melihat wajah kami satu persatu.
"Apakah kalian siap menjadi orang kuat dan tangkas?"
"Mau." Jawab kami.
"Kalau begitu minum jamu ini." Wanita itu menunjukkan satu gelas jamu di tangannya. Dia langsung mengasih mahasiswa paling di ujung hingga giliranku. Kalua hal semacam ini masih lumrah bagiku. Giliran mahasiswi berkerudung merah muda di sampingku yang dari tadi menutup mulutnya seakan ingin muntah.
"Maaf, Kak, aku nggak bisa minum. Aku alergi dengan jamu."
"Apa? Lu mau nolak? Tidak ada yang boleh nolak Miska. Sekarang buka mulut Lu, lalu minum nih."
"Aku nggak mau, Kak. Jangan paksa Aku..."
"Harus mau pokoknya." Mahasiswi itu langsung menampel gelas berisi jamu sehingga jatuh dan sebagian mengenai bajunya. Dia nampak sangat marah. Mukanya sudah memerah seperti bara api yang sangat panas.
"Dasar wanita bajingan! Wanita lemah seperti Lu harus dikasih pelajaran." Miska mengangkat tangannya hendak menampar mahasiswi itu, tapi "Hap" aku yang dari tadi sudah tak tahan menahan serangannya.
"Sudahlah, Mbak. Maafin dia. Kenapa sih harus marah-marah."
"Beraninya lu nahan tangan gua. Siapa nama lu? Berengsek sekali sama kakak kelas." Tiba-tiba datang 3 pria memakai name tag "panitia" kea rah kami.
"Kalian bertiga urus dia. Aku sudah tak tahan lagi."
"Oh, sepertinya ada bau-bau pembrontakan di sini." Kata salah satu dari mereka.
"Aku juga mencium bau-bau bullying, Mas." Timpalku.
"Oh, lu nggak terima?"
"Tidak ada yang mau menerima bullying di dunia ini. Korban bully sudah terlalu banyak di dunia ini. Masa Mas tega menambah jumlah korban."
"Sialan!" pria itu langsung melancarka serangan ke arahku. Aku mengelak dan balik menyerang rahang di mana otot saraf berkumpul di situ. "Buuk" pria itu langsung tepar. Kedua temannya langsung membopongnya ke ruang UKS bersamaku dan mahasiswi untuk bertanggung jawab.
***
"Kenapa kamu pukul Deni kakak angkatanmu, Fadhil?" tanya seorang dosen di kantor kampus.
"Dia yang mulai duluan. Saya nggak bakal nyerang kalua tidak diserang duluan."
"Bohong, Pak. Dia yang mulai duluan. Masa hina-hina panitia." Sergah Deni.
"Benarkah itu, Fadhil?"
"Sebenarnya yang menghina duluan itu siapa? Jangan membalikkan fakta, Mas."
"Pak, bolehkah saya berbicara?"
"Silakan, Husna."
"Sebenarnya yang mulai duluan adalah aku. Aku menolak meminum jamu yang diberikan kakak panitia karena alergi. Fadhil ingin menolongku. Dari situlah terjadi percekcokan di atara kami. Lalu datang 3 kakak panitia, dan terjadilah perkelahian."
"Jamu apa itu? Heemm.. aku mencium bau-bau siksaan. Deni, kamu jelaskan yang sebenarnya." Akhirnya Deni menjelaskan semuanya. Dan dia pun meminta maaf kepada Pak dosen dan kepada kami. Kami pun dibebaskan dari kegiatan itu. Kegiatan yang sebenarnya wajib diikuti selama 3 hari, khuusus bagi kami free. Ini merupakan anugerah yang luar biasa bagiku. Terbebas dari bullying dan siksaan oleh kakak tingkatan. Hehehehe...
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Cinta
RomanceBercerita tentang cinta seorang pemuda kepada seorang wanita. Cinta dalam diam yang tak pernah dia ungkapkan selama tiga tahun. Banyak orang mengincarnya, namun takdir tidak merestui. Dan akhirnya ada takdir yang baik dari yang diinginkan manusia.