Tidak Seperti Biasanya

159 6 0
                                    



Suasana kampus kini sedikit berubah. Gara-gara menang lomba menulis kemarin, aku jadi agak terkenal. Ada beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang menyapa dan bertanya soal kemenanganku kemarin. "Fadhil, selamat, ya." Kata salah satu mahasiswi.

Aku jadi agak malu ketika disapa dan ditanya banyak orang. Bukan kebiasaanku menjadi perhatian banyak orang. Biasanya aku tidak pernah diperhatikan. Dan di antara teman-teman aku sering dikenal orang yang tak terkenal. Cukup aneh. Tapi begitulah kenyataanya. Sekarang banyak orang yang menyebut-nyebut namaku. Keadaan kini telah berputar. Begitu mudah Allah memutarbalikan keadaan. Maka sebagai manusia memang tidak boleh sombong dan juga tidak boleh minder. Bagi yang kaya sekarang, bisa jadi miskin besok. Bagi yang sehat sekarang, siapa tahu kalau besok mati. Dan sebaliknya, mungkin sekarang tidak dikenal orang, tapi bisa jadi besok jadi orang terkenal nomor satu.

Teman-teman gengku telah datang. Mereka nampak membawa sesuatu. "Taraaa...." Hendra memberikan kado berwarna hijau. Nampak besar dan bentuknya kotak.

"Apa ini?"

"Buka ajalah."

Tanpa pikir panjang, aku buka kado itu. Ternyata isinya adalah laptop merek Dell. Aku yakin harga laptop ini mahal. Bentuk luarnya dan isinya sangat bagus. Aku tahu kalau Dell adalah laptop buatan Israel, yaitu orang-orang yahudi. Mereka tidak akan membuat sesuatu sembarangan. Pasti akan membuat sesuatu dengan serius dan perhitungan yang matang.

"Itu adalah hadiah dari ibu aku. Katanya kau harus nyaman menulis. Makanya ibu ingin kau ganti laptop butut kau dengan laptop baru ini. Bagaimana keren nggak?"

"Terima kasih, Hendra. Tolong sampaikan salamku ke ibumu, ya.."

"Insya Allah, kawan."

Setelah itu kami kembali menikmati rendang masakan ibu Hendra di kantin. Benar-benar sangat lezat. Beginilah enaknya punya teman orang padang. Pasti kecipratan masakan padangnya.

***

Aku tidak mau kebahagianku hanya aku sendiri yang menikmatinya. Orang lain juga harus merasakannya. Oleh karena itu aku mengadakan pesta kecil-kecilan di TPQ. Aku hanya bisa memberi uang belanja, sedangkan Ibu Maimunahlah yang memasak untuk para santri dan tetangga sekitar. Aku hanya bisa membantu sedikit seperti mengupas bawang, memotong daging, dan merebus sayuran. Selain itu ku serahkan pada ahlinya. Aku takut masakanku nggak enak. Hehehe...

"Kalau saja Zahra ada di sini, mungkin dia bisa bantu kita." Celetuk Ibu Maimunah.

"Lah, dia kan lagi belajar. Jangan ganggu dia." Balas Pak Syaifuddin.

"Siapa Zahra itu?" tanyaku.

"Oh, dia itu anak pertama kami."

"Sekarang di mana dia?"

"Dia lagi belajar di slah satu pondok tahfizh. Tahun depan akan lulus dan melanjutkan kuliah."

"Berarti sudah hafal al-Quran, dong?"

"Kurang tahu. Katanya sih sudah, tinggal murojaah ajah."

Aku baru tahu kalau Pak Syaifuddin punya anak perempuan namanya Zahra. Dia sedang menempu pendidikannya di pondok tahfizh. Kenapa bapak dan ibu tidak pernah cerita soal ini, ya? Entahlah.

Makanan telah terhidang di depan semua orang. Nasi kuning, ayam goring krispy, sambal trasi, sayur-sayuran, kerupuk, temped an tahu goring telah siap untuk disantap. Aku lihat anak-anak sudah tidak sabar. Ketika melihat mereka makan dengan lahap, akan jadi merasa lebih bahagia dari sebelumnya. Ternyata kebahgian sesungguhnya bukan ketika mendapatkan sesuatu, melainkan kebahagiaan haqiqi adalah ketika kita bisa memberikan sesuatu. Aku jadi ingat sebuah hadits yang artinya kurang lebih berbunyi, "Tangan di atas lebih baik daripad tangan di bawah."

Ternyata aku baru paham bahawa hadits itu tidak hanya sekedar menjelaskan tentang pahala orang yang mengasih lebih banyak dari pada yang dikasih, melainkan juga perasaan orang yang mengasih jauh lebih bahagia daripada orang yang dikasih. Memang islam menunjukkan kita jalan yang benar dan lurus. Tak ada keraguan sama sekali akan hal itu.

Setelah selesai menghabiskan makanan, anak-anak pamit pulang sambil mencium punggung tanganku, pak Syaifuddin, dan Bu Maimunah. Yang tersisa hanya nampan kosong dan beberapa gelas plastik sisa anak-anak.

"Fadhil, mampir ke rumah, ya.." kata Pak Syaifuddin.

"Enggeh, Pak."

"Ada yang bapak omongin. Kamu sibuk, nggak? Kalau sibuk ya nggak usah."

"Kebetulan aku lagi kosong." Kami pun masuk ke dalam rumah dan duduk di sofa yang berada di ruang tamu.

"Fadhil, bapak ingin minta pendapat kamu."

"Apa itu, Pak?"

"TPQ kita ini masih tergolong baru. Belum ada nama dan juga struktur organisasinya. Aku minta pendapatmu mengenai nama TPQ ini."

"Bagaimana kalau Al-Amin."

"Kenapa kamu pilih nama itu?"

"Al-Amin adalah salah satu julukan Rasulullah yang berarti bisa dipercaya. Kita berharap TPQ ini menjadi harapan orang-orang sekitar yang ingin belajar mengaji. Dan kita juga berharap bisa mencetak orang yang bisa dipercaya di masyarkat kita. Meskipun yang kita ajarkan nggak banyak, yang penting bisa bermanfaat dan memiliki faedah yang besar bagi pembangunan umat."

"Oh, gitu. Boleh. Bagus kayaknya. Jadi nama itu saja yang kita pakai."

"Loh, kok langsung setuju saja, Pak. Apa nggak ada pertimbangan yang lain?"

"Kayaknya nggak perlu. Aku yakin dengan penjelasan yang kamu punya."

"Karena TPQ ini telah berjalan kurang lebih setahun. Aku ingin ada perkembangan di TPQ kita. Mungkin tidak Cuma belajar mengaji, tapi juga ada belajar Bahasa Arab, Bahasa Inggris, fiqih, dan sirah nabawiyah. Bagaimana menurutmu?"

"Bagus, tapi siapa yang bakal mengajar?"

"Untuk saat ini aku bisa ngajar fiqih dan sirah nabawiyah. Kamu bisa ngajar Bahasa Inggris. Tapi tak tahu siapa yang akan mengajar Bahasa Arab."

"Oh, mungkin ku tawarkan Husna. Siapa tahu dia siap mengajar anak-anak Bahasa Arab."

"Benar juga."

Sidang malam bersama Pak Syaifuddin mengenai TPQ sampai jam 10 malam. Ya, obrolan penting untuk pertama kali bersama beliau. Sebelumnya tidak ada sidang malam seprti ini. Mungkin ini sangat darurat dan memang dibutuhkan. Semoga perjuangan kami ini bisa bermanfaat bagi umat.


Takdir CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang