Ujian semester telah tiba. Aku kurangi kegiatan di luar bersama teman-teman. Hanya dua kegiatan yang tak boleh ku tinggalkan, mengajar ngaji dan mengadiri ta'lim di masjid kampus di hari Ahad. Sedangkan kegiatan bersama WC aku kurangi. Ku lebih sering berada di perpustakaan dan masjid. Hampir setiap hari aku pergi ke tempat ini. Dan juga selalu bertemu dengan Husna. Seakan-akan perpustakaan, masjid, dan dia adalah satu paket dalam hidupku. Ku mulai tertarik dengannya. Entah kenapa, hidupku sangat bergairah ketika bertemu dengannya. Aku lebih semangat dalam mengikuti kegiatan. Tapi aku tahu batas-batasnya. Tidak mungkin ku berduaan dengan dia di tempat sepi. Tidak mungkin samasekali. Atau aku menembaknya untuk jadi pacarku. Tidak mau dan tidak akan pernah. Sama saja merendahkan diriku sendiri.
"Fadhil, kalau kamu lulus nanti mau jadi apa?" tanya Husna.
"Emm.. aku mau jadi tiga P. Penulis, pengajar, dan pengusaha. Kalau kamu?"
"Kalau aku ingin menjadi seorang hafizhah, motivator, dan ibu rumah tangga."
"Ibu rumah tangga?"
"Iya, kenapa?"
"Enggak, aneh ajah."
"Apanya yang aneh? Nggak ada yang aneh. Mengabdi pada suami pahalanya sangat besar. Sama dengan seorang pria mengabdi pada Ibunya."
"Aku lihat kamu cocok jadi wanita yang sibuk dengan kerjaan dan kegiatan di luar."
"Sebenarnya aku sekarang aktif di beberapa organisasi dan komunitas adalah bagian dari persiapan menjadi seorang ibu yang baik. Yaitu dengan mendidik anak-anaknya menjadi orang-orang hebat. Ingat, imam syafi'I memiliki ibu yang luar biasa. Beliaulah yang mendidik imam hingga menjadi orang hebat. Emangnya kamu mau kalau istrimu nanti kluyuran ke mana-mana ninggalin rumah?"
"Ya, benar juga, sih. Makasih masukannya."
"Nanti kalau kamu mau cari istri, pilih istri yang cita-citanya ingin menjadi ibu rumah tangga. Hehehe..."
(Iya, itu kamu. Aku ingin memilihmu, Husna) Kataku dalam hati.
"Kamu bilang ingin jadi Hafizhah, emangnya kamu punya hafalan berapa?"
"Ah, masih sedikit, kok. Pun yang sedikit itu belum mutqin."
"Renda hati banget, sih. Ngomong-ngomong kamu sore ini sibuk nggak?"
"Enggak. Emangnya kenapa?"
"Mungkin bisa mampir ke TQPku. Ya, berbagi ilmu sedikitlah."
"Emmm... boleh. Jam berapa mulainya?"
"Jam lima sore sampai maghrib sajalah biar nggak terlalu malam pulangnya."
"Insya Allah aku akan ke sana."
"Bawa motor kan?"
"Iya. Kamu?"
"Kalau aku jalan kaki ajah."
"Ya, berarti kita bareng jalan kaki. Lagian deket juga, kan?"
"Ya, paling lima belas menit lah."
Kami berdua berjalan bersama menuju lokasi TPQ tempatku ngajar. Nggak nyangka bisa berjalan bersama Husna. Ya, tentu saja cukup deg-degan dan salah tingkah. Apalagi kanan-kiri banyak yang lihat, dikira pacaran lagi. Ogah.
Kami pun sampai di lokasi. Pak Syaifuddin, Bu maimunah, dan anak laki-lakinya yang masih berumur sekitar 10 tahunan, Ahmad menyambut kami dengan sangat baik.
"Jadi, ini temannya Fadhil?"
"Enggeh, Pak."
"Wah, cantik sekali. Pasti bukan orang biasa." Sahut Bu Maimunah. Ya, kami seperti keluarga. Saling ngobrol dan bercengkramah. Aku juga sering curhat soal permasalahan hidup yang tak bisa ku selesaikan sendiri. Aku juga sering bertanya tentang agama, khusus fiqih. Karena keluarga Pak Syaifuddin backgoundnya adalah lulusan pesantren, maka tak heran kalau mereka paham agama dengan baik. Bisa dibilang seperti anak sendiri.
"Iya, Bu. Husna ini pinter Bahasa Arab, menulis, agama, dan punya hafalan quran lagi."
"Bener seperti itu, Husna?"
"Itu mah Fadhilnya ajah yang berlebihan."
"Nak Husna merendah saja."
Setelah melaksanakan shalat, kami pun mengajar anak-anak TPQ. Kebetulan Bu Maimunah sedang sibuk, maka Husnalah yang mengganti posisinya. Ku lihat kelompok Husna paling antusias dan ramai. Dia memiliki teknik mengajar yang luar biasa. Ternyata dia punya bakat dalam mengajar juga.
Allahuakbar...
Allahuakbar...
Suara adzan Maghrib telah dikumandangkan. Tanda berakhirnya halaqoh al-Quran. anak-anak banyak protes karena waktu belajarnya sudah selesai. Mereka merengek-rengek ke Husna agar menambah waktunya sedikit lagi. "Kak, ayo. Belajar lagi." Kata seorang santri.
"Kan waktunya udah habis."
"Besok kakak ke sini lagi, nggak?"
"Kalau ada waktu kosong, Dik."
Sungguh suasana yang sangat luar biasa. Dirindukan oleh seorang murid merupakan impian semua guru. Dan dia telah berhasil mengambil hati anak-anak. Aku kasih jempol 4.
Sehabis shalat Maghrib sebeanrnya aku ingin mengantarnya sampai ke parkiran kampus. Tapi Bu Maimunah mencegah kami. "Jangan pergi dulu. Ayo makan malam bareng, mumpung lagi ngumpul."
"Eh, saya makan malamnya di rumah ajah, BU. Orang tua pasti lagi nunggu."
"Ibu sudah capek masakin buat kalian, jadi jangan kecewain ibu, ya." Bu Maimunah pun langsung narik tangan Husna untuk masuk ke dalam rumah. Di dalam rumah telah terhidang makanan super. Ada pecel lele, ayam goring, dan mendoan. Ditambah sambal trasi yang baunya menggoda dan beberapa lalapan. Aku sudah tidak sabar lagi menunggu. Langsung saja aku ambil piring dan mengambil semua jenis lauk yang ada di atas meja. Semua orang pun heran dengan tingkahku. Hehehe...
Ku lihat Husna nggak makan banyak. Ya, biasalah wanita itu sering jaim. Dia hanya mengambil ayam goreng dan beberapa lalapan. "Husna, tadi anak-anak suka sekali kepadamu." Kata Pak Syaifuddin.
"Berarti harus sering-sering ke sini, ngajar sama Fadhil." Sahut Bu Maimunah.
"Ya, kalau Husna sih nggak ada masalah. Tapi rumah Husna kan jauh, harus pakek motor."
"Kalau nggak bisa setiap hari, paling nggak seminggu sekali atau sebulan berapa kali, gitu."
"Entar Husna usahai, ya Bu."
Husna pun pamit pulang dengan mencium punggung tangan Ibu Maimunah. Aku mengantarnya sampai parkiran kampus dan di sanalah kami berpisah.
Hari yang cukup menyenangkan. Bisa makan bersama dengan orang yang disuka dan dicinta. Tadi itu seperti makan malam keluarga. Kalau saja itu terwujud, betapa bahagianya diri ini. Aku jadi nggak bisa tidur mikirin dia terus. Setiap kali menutup mata selalu saja terbayang wajahnya. Haduh, jadi insomnia, nih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Cinta
RomansBercerita tentang cinta seorang pemuda kepada seorang wanita. Cinta dalam diam yang tak pernah dia ungkapkan selama tiga tahun. Banyak orang mengincarnya, namun takdir tidak merestui. Dan akhirnya ada takdir yang baik dari yang diinginkan manusia.