Alhamdulillah tulisanku telah rampung. Sekarang tinggal ku edit sedikit demi sedikit. Ku baca berkali-kali, kalau ada yang salah dari segi penulisan atau Bahasa, langsung aku betulkan. Memang nggak banyak, sih, tapi inilah karya terbaik yang bisa aku persembahkan. Kalau naskahku menang, alhamdulillah. Kalau kalah ya nggak apa-apa. Click!
Aku telah menyetorkan karyaku. Sebenarnya batas akhir penyetoran naskah masih dua hari lagi. Tapi aku sudah yakin dengan karyaku. Tidak ada keraguan sama sekali di hatiku. Sekitar dua minggu lagi, tepatnya tanggal 14 Januari akan diumumkan pemenang peringkat 1 sampai 5.
Dan setelah menunggu dua minggu, akhirnya pengumuman pemenang kompetisi menulis surat cinta untuk ibu akan di adakan di Perpustakaan Umum yang ada di Jogja. Aku dan teman-teman WC pergi rombongan untuk mengkuti acara tersebut. Sebelum pengumuman dimulai, akan ada seminar menulis yang akan disampaikan oleh penulis besar asal Jawa Timur, Habibullah El-minsyawi.
Beliau bercerita tentang pengalamannya ketika pertama kali menulis. Ya, tentu saja ada rintangan yang tidak sedikit. Juga beliau memberika motivasi dan trik-trik bagaimana tulisan kita bisa bagus, yaitu menulis dengan hati. Ketika seseorang menulis dengan hati akan beda rasanya ketika seseorang menulis hanya pakek otak.
Kalimat terakhir beliau di acara itu adalah "Di mana pun penulis itu berada, dia tak akan pernah berhenti menulis. Dan bagaiman pun keadaannya dia tidak akan pernah berhenti menulis. Seorang penulis akan selalu menulis di mana pun dia berada dan bagaiman pun keadaanya." Kata-kata yang menancap di dada. Kata-kata super ini tak akan pernah ku lupa. Insya Allah...
Sekarang adalah agenda yang ditunggu-tunggu. Yaitu pengumuman hasil lomba menulis surat untuk ibu. Pembawa acara pun maju ke depan dengan membawa secarik kertas.
"Alhamdulillah kita sudah dipenghujung acara. Saatnya kita mendengar hasil lomba menulis surat cinta untuk ibu. Juara kelima diraih oleh.... Syaifurrahman dengan judul 'Aku cinta Ibu'." Aku sudah agak deg-degan. Aku berharap bisa juara tiga. Ya, paling nggak.
"Juara keempat diraih oleh.... Diva Putri Rahayu dengan judul 'You are my love'." Ternyata bukan aku lagi.
"Juara ketiga digondol oleh..... Desi Anugeraheni dengan judul 'Engkau sang Mentari'." Heemm...
"Juara kedua dicaplok oleh..... Hanifuddin Anhar dengan judul 'Cinta Abadi'." Wah, hebat sekali Mas Hanif dapat juara dua. Dan sekarang tinggal menunggu juara satu. Bagiku itu tidak mungkin. Masak penulis pemula bisa mengalahkan penulis hebat seperti Mas Hanif. Tapi ku lihat Husna terus menundukkan kepala, seperti sedang berdoa. Semoga doanya terkabul. Aku berdiri ingin meninggalkan tempat. Sudah tidak ada kesempatan lagi.
"Dan ini yang terakhir. Juara pertama kita diraih oleh seorang penulis dengan judul 'Ibu, maafkan Aku'. Ya, namanya adalah Muhammad Fadhil." Apa? Aku juara satu? Mustahil. Aku yang sudah di depan pintu keluar kembali lagi untuk maju ke atas panggung yang di sana sudah ada Mas Hanif seniorku di WC. Ku pandangi Husna yang tersenyum ke arahku.
"Fadhil, selamat, ya." Kata Mas Hanif.
"Mas, ini kayak di mimpi. Aku nggak percaya bisa mendaptkan peringkat satu, mengalahkan Mas Hanif."
"Ya, semuanya sudah ditentukan takdirnya oleh Allah. Dia tahu mana hamba-Nya yang pantas dan tidak. Aku yakin kamu pantas mendapatkannya."
Aku mendapatkan banyak sekali hadiah. Mulai dari piala, uang tunai, beasiswa, dan beberapa buku bestseller. Aku masih nggak nyangka bisa mendapatkan semua ini. Aku hanya bersyukur dan mengucapkan hamdalah.
Kemudian banyak wartwan yang mendatangiku. Mereka mewawancaraiku dengan banyak sekali soal, sampai aku bingung mau jawab apa. Aku pun lari dari mereka menuju Husna yang nampak sedang menungguku.
"Apa aku lama?"
"Enggak. Selamat, ya, Fadhil."
"Iya, terima kasih. Karena aku dapat sedikit rezeki, aku mau mentraktirmu di warung makan pecel lele, gimana?"
"Emm.. boleh." Aku dan Husna izin rombongan WC untuk pergi ke warung pecel lele yang terletak di samping Perpustakaan.
Langit nampak gelap, sepertinya hujan bakal turun sore ini. Angin juga bertiup agak kencang. Aku sedikit merasa kedinginan. Ku keluarkan jaketku dari tas. Ketika hendak ku pakai, ku lihat Husna merasa kedinginan.
"Apa kamu merasa kedinginan?"
"Eng...eng.... Enggak, kok."
"Jangan bohong. Ini pakai." Aku langsung menyodorkan jaket sportku ke dia. Dia pun memakai jaketku. Aku hanya bisa menahan diri dingin dengan kemeja lengan panjangku.
Ya, suasana sore ini, di warung makan ini nampak romantis. Hanya ada dua pelanggan di dalam warung, dan hujan rintik-rintik ini menambah suasana menjadi lebih indah. Entah mengapa aku tak pernah merasa sebahagia ini. Aku bahagia bukan karena mendapatkan juara saja, tapi kebersamaan dengan Husna juga merupakan kebahagian tersendiri yang nilainya cukup tinggi bagiku.
"Fadhil, aku ingin mendengar kamu membaca naskahmu. Boleh, nggak?"
"Emm... boleh." Aku pun mengeluarkan naskahku.
"Masih terasa kehangatan tanganmu. Masih membekas keharuman baumu. Masih ingat kebaikanmu. Begitu besar perhatianmu padaku. Kau tak bosan mengiriskan mangga, ketika aku sedang menonton TV sambil tidur-tiduran. Saat itulah aku terkagum-kagum kepadamu. Ketika aku sakit, kau tak lelah memijati tubuhku. Walaupun kau sendiri mungkin sedang pegal. Tapi kau pura-pura tidak apa-apa.aku sampai geleng-geleng kepala.
Tapi aku? Bagaimana sikapku? Aku tidak peduli....." aku membacanya sampai akhir.
Ternyata Husna merekam aksiku barusan, sambil meneteskan air mata. Aku jadi salah tingkah dan grogi.
"Kenapa kamu merekamnya?"
"Aku ingin mengirimnya ke Ibu. Boleh, nggak?"
"Ya, boleh saja."
Andai saja dia sudah halal bagiku, pasti yang ku baca bukan "surat cinta untuk ibu", melainkan "surat cinta untukmu". Harapanku sangat besar dan peluang masih terbuka lebar. Aku harus bersabar dulu untuk sementara, menunggu waktu yang pas dan tepat. Aku akan sangat menyesal jika tidak pernah mencoba melamarnya. Bagiku ditolak lebih baik daripada tidak pernah mencoba sama sekali. Kata-kata dalam bahasa Inggris tertancap di dalam hatiku never try never know.
Ini moment yang tak akan pernah ku lupakan. Kejadian ini adalah yang pertama dalam hidupku. Selama ini aku tidak paham soal wanita. Aku juga tak terlalu paham hubungan antara laki-laki dan perempuan. Apalagi soal cinta. Aku orang yang paling cuek dan nggak peduli soal gituan. Yang aku tahu kalau perempuan yang bukan mahram bagiku, tidak boleh ku sentuh dan ku lihat lama-lama.
Tapi sekarang hatiku seperti berbunga-bunga dirundung asrama. Apakah ini yang disebut cinta? Indah sekali. Seperti di dalam ruangan yang dipenuhi musik-musik klasik, sangat tentram. Atau juga di dalam masjid yang dipenuhi murotal dari syeikh Misyari, Ghomidi, Sudais, Al-Ausy, dan lain sebagainya. Aku jadi semangat dalam melakukan segala hal. Kalaupun ada tugas mendaki gunung hari ini mengambil bunga langka di sana untuk diberikan Husna, pasti sudah ku lakukan. Itulah cinta, merubah susah menjadi mudah, sedih menjadi bahagia, berat menjadi ringan, cemberut menjadi riang gembira.
Yang jelas, satu pertandingan telah ku menangkan. Yaitu pertandingan merebutkan juara satu lomba menulis "surat cinta untuk Ibu". Tinggal pertandingan yang kedua, yaitu pertandingan merebutkan Husna. Sekor sementara 1-0.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Cinta
RomanceBercerita tentang cinta seorang pemuda kepada seorang wanita. Cinta dalam diam yang tak pernah dia ungkapkan selama tiga tahun. Banyak orang mengincarnya, namun takdir tidak merestui. Dan akhirnya ada takdir yang baik dari yang diinginkan manusia.