17. BOOM

84 9 54
                                    

Finally, tidak ada yang sanggup menolak titah Baginda Ratu. Sehari penuh bersama Mama Sofie, merawat bunga-bunga kesayangannya, bercerita masa kecil anak-anaknya dan menemani belanja. Jangan lupakan bagian memanjakan diri di salon yang membuat kami baru menginjakkan kaki di rumah kembali tepat sebelum makan malam.

"Oh, ya ampun. Sepertinya mama terakhir kali merasakan seperti ini udah lama banget. Pokoknya kamu harus sering-sering nemenin mama melakukan apa yang udah kita lakuin hari ini." senyum itu tak tega kubuat surut. Kebahagian seorang ibu adalah hal termanis. Jika kehadiranku membuatnya bahagia, haruskah kutepis egoku untuk menurutinya? Itu artinya, aku harus mengalah pada rasa sakit yang pasti akan muncul saat berhadapan dengan-nya.

Tak ada jawaban pasti dariku. Kuberikan seutas senyum pada Mama. Berada di sini kembali adalah hal yang tak pernah kubayangkan setelah semua yang telah terjadi. Aku masih merasa tidak pantas. Namun, melihat Mama dan harapan-harapannya, membuatku sulit untuk berkata tidak.

Ketika langkah kami semakin dekat dengan ruang tamu, sebuah suara menginterupsi senyum Mama. "Wah, kalian bersenang-senang tanpa Papa?"

Mama semakin memamerkan senyum lebarnya. Berjalan ke arah suaminya dan mendapat pelukan darinya. "Tentu, ini urusan perempuan." kekehan Mama sepertinya membuat Papa gemas. Ia mencium bibir mama tepat di depanku.

"PAPA!"

Tidak, itu bukan suara Mama. Itu adalah suaraku. Aku tahu mereka berhak melakukannya, tapi ayolah! Masih ada aku di antara mereka. Haruskah melakukan itu. Bahkan mereka tak memberiku waktu untuk menutup mata atau setidaknya aba-aba agar aku pergi lebih dulu, mungkin.

Bukan keheranan atau amarah yang kudapat karena menganggu aktivitas mereka. Namun kekehan kompak yang terdengar menjengkelkan untukku. "Ah, maafkan Mama. Salahkan Papamu yang ga bisa menahan mulutnya."

Papa semakin tergelak. "Ayolah, Ma, itu hanya kecupan." Mama melotot ke arah Papa, membuat paruh baya itu menghentikan tawanya. "Baiklah, Papa minta maaf, Papa lupa ada putri kita."

Putri kita.

Tak ada yang lebih penting selain kalimat itu. Rasa haru bertubi-tubi mulai menyerang kembali. Sudah berapa tahun sejak kepergian papa dalam hidupku. Tahun-tahun terakhir, sosok itu muncul dalam diri Papa Erick. Sosok tegas yang membuat takut dunia tapi jauh berbeda ketika ia sudah dihadapan keluarganya. Pria paruh baya dengan senyum hangat dan pelukan menenangkan.

"Hey, kenapa melamun, hm?" Papa mengurai mendekat ke arahku, membuyarkan lamunan singkat tentang keluarga bahagia dalam rumah ini. "Ada apa? Katakan pada Papa. Apa ada sikap papa yang menyakitimu?"

Aku menggeleng. Embun mulai memenuhi mata. Mengalihkan pandangan dan mencoba tersenyum. Aku tak secengeng ini dulu, tapi berhadapan dengan keluarga ini sepertinya membuat perasaan melankolis selalu menghampiriku. "Tania ... hanya rindu kalian."

Papa tersenyum. Senyum yang sama yang selalu membuatku berharga dalam keluarga ini. Sesaat kemudian, Papa memeluk, memberikan ketenangan seraya mengusap lembut punggungku. "Kami juga sangat merindukanmu, Sweetheart. Jangan lagi berpikir yang enggak-enggak. Papa ga suka. Kamu juga anak Papa, ingat itu!"

Semakin mengeratkan pelukan, aku mengangguk ragu. Entah kebaikan apa yang telah kulakukan selama ini, mendapatkan keluarga berhati baik seperti mereka seperti mimpi bagiku. Terlepas dari sikap negatif Kris padaku, aku bersyukur bisa mengenal keluarga ini, menarik kembali kalimatku yang menyesali pertemuanku dengan Kris. Itu reaksi alami, bukan? Kupikir aku bukan satu-satunya makhluk yang mengalaminya, menyesali pertemuan dengan kekasih setelah hubungan itu berakhir. Atau menyalahkan takdir yang membuat kisah rumit antara aku dan dia? Sepertinya kepalaku sudah terlalu berat membawa bahasan ini.

Sunday (You Are My Favourite Taste)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang