15. How to Freeze the Time

54 11 4
                                    

"Ada apa dengan wajahmu?"

Aku menaiki motor Jason tanpa menjawab pertanyaannya. Masih belum terbiasa dengan sikap kasar Kris. kuputuskan untuk mengalihkan pikiran dari kejadian beberapa menit lalu. Aku tidak menyalahkan Jason yang datang sedikit terlambat menjemput. Kris dan segala arogansinya tak akan membiarkanku begitu saja jika dia sudah menjadikanku target dari awal. Mungkin jika itu Daniel, aku lebih merasa terlindungi. Bukan berarti tidak percaya pada Jason. Aku hanya ingat saat tenggelam di acara ulang tahun Kris waktu itu, Jason tidak berani melakukan hal lebih untuk menolongku ketika Kris sudah melayangkan peringatan untuk tidak ikut campur. Setidaknya Jason mengakuinya sendiri tentang hal itu dan enggan berurusan dengan Kris.

"Aku lelah. Besok aja ceritanya." kusandarkan kepalaku pada punggungnya. Menjadi dewasa itu melelahkan, kupikir begitu. Aku tak ingin memikirkan setiap keburukan Kris padaku. Itu hanya akan menyisakan ruang di hati untuk semakin mengingatnya dan menempatkannya sebagai prioritas secara tidak langsung. Rasa sakit itu biarlah berlalu, aku tak akan memaksanya untuk sembuh. Aku juga tak akan lebih lama menahannya. Dengan begitu, aku yakin semua akam berjalan sebagaimana mestinya. Aku pernah membaca jika yang dibutuhkan oleh hati yang sedang terluka adalah waktu. Tidak ada yang bisa menyembuhkannya selain diri sendiri. Tidak seorang penopang apalagi pengganti.

Jason mengendarai motornya tanpa kata. Dalam situasi seperti ini, dia berubah jadi sosok yang pengertian. Aku bersyukur memilikinya, meski lebih banyak menyebalkan. Jason menempati urutan ke dua—pria yang bisa kuandalkan—setelah Daniel tentunya.

"Mau makan dulu?" Jason memelankan laju motornya. Menoleh sedikit ke arahku. Kujawab dengan gelengan.

"Langsung pulang aja. Aku pengen cepet tidur, Bup."

Tidak ada pembicaraan lagi sampai kami tiba di rumah. Aku menyerahkan helm miliknya kemudian masuk ke dalam rumah setelah mengucapkan terima kasih. Lampu ruang tamu masih menyala seperti biasa. Mama menungguku di depan televisi. Kusentuh bahunya, ia membuka mata. "Ah, udah pulang?" Mama melirik jam dinding. "Mama ketiduran. Mau makan sesuatu?"

Aku menggeleng seraya tersenyum. "Tita udah kenyang, langsung tidur, ya, Ma?"

Aku menguap. Hari yang panjang dan cukup melelahkan. Setelah mendapat anggukan dari Mama, aku tak membuang waktu untuk segera naik, melakukan ritual bersih-bersih diri kemudian pergi tidur.

***

Jika disuruh memilih shift pagi atau siang. Keduanya memiliki porsi yang sama. Pekerjaan shift pagi lebih banyak tapi aku bisa menikmati family time di rumah. Sementara shift siang, pekerjaannya tidak begitu banyak tapi aku harus pulang larut dan tidak bisa memiliki waktu lebih untuk family time. Jadi, aku takkan memilih. Dunia kerja ternyata seperti ini.

Pernah aku berkhayal seandainya bisa menghentikan waktu. Aku ingin selalu menjadi anak-anak yang selalu punya waktu banyak untuk bermain tanpa memikirkan banyak hal yang membuat kepala penuh, atau bahkan pelajaran dengan guru paling menakutkan sepanjang sejarah. Lebih lagi, anak-anak tak harus merasakan sakitnya rasa patah hati. Yang mereka mengerti hanya cara bersenang-senang, berteman dengan banyak anak lainnya dan tertawa. Itulah dunia dongeng. Sayangnya, semua itu sudah kulalui.

Waktu. Ia tak memiliki kaki. Berjalan tanpa kendali. Tak bisa berhenti, melambat atau bahkan berputar kembali. Jika menelaah lebih detail, sejujurnya itu membuatku takut. Bukan takut akan masa tua, melainkan tidak bisa menggunakannya dengan benar. Jika orang bilang masa SMA adalah masa emas dalam hidup, aku belum cukup memahami arti kalimat itu. Mungkin nanti, ketika masa ini telah berlalu. Dan aku sudah berada di tahap dewasa. Banyak kenakalan dan kisah yang pasti lebih dari menyenangkan di masaku saat ini, aku mengakui. Meskipun begitu, aku masih mengingat apa yang pernah mama bilang; penyesalan selalu datang di akhir.

Sunday (You Are My Favourite Taste)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang