6. Stupidity: Heineken Light

83 14 48
                                    

Ini hujan, dan memori masa lalu itu selalu turun bersama. Tentang kebodohan, tentang ego, tentang euforia sesaat dan tentang dia ... atau mereka lebih tepatnya?

Happy reading, kamu 😌

Playlist: Drunk on Love

***

Jika kejadian demi kejadian tiga hari ini adalah sebuah kebetulan, haruskah kuanggap itu adalah kesialan? Satu kata untuk itu semua; menyedihkan.

Bahkan wonder women pun bisa tumbang saat berurusan dengan 'hati'. Gumpalan daging yang ukurannya bahkan tak lebih besar dari otak manusia, itulah ia. Hal yang membangun dirinya menjadi congak adalah kumpulan emosi yang berada di dalamnya. Partikel banyak warna yang siap memorak-porandakan duniamu dalam sekejap. Itu mengerikan dan mengagumkan dalam sekaligus.

Aku lupa bagaimana cara tersipu ketika mata itu untuk pertama kalinya menangkapku. Tiga detik itu selalu kujaga rapi dalam memori. Kusisakan dalam barisan perih yang sialnya tak cukup kuasa untuk mempertahankan bencinya. Satu kebodohan dari 'hati' itu sendiri sudah kutemui. Namun, setidaknya ada ketulusan dari netranya saat itu. Hangat, membuat setiap aliran darah berdesir dan menginginkannya lebih dan lebih.

Aku berjalan menuju pantry, sedikit air dingin terdengar lebih baik untuk meredamkan hal yang aku sendiri tak paham itu apa. Mengingat masa lalu hanya akan membuatku terjebak dalam ruang hampa. Tak menginginkannya tapi kepala terus saja memutar kenangan itu. Sebenarnya siapa yang harus memerintah dan diperintah? Logika dan hati memang tak pernah berjalan bersama.

"Hai."

Aku menoleh dan mendapati Kevin masuk dari pintu belakang. "Hai, kupikir kamu di shift siang tiga hari ini?"

"Tadinya, sebelum Deri tukar jadwal. Mau makan siang bersama?" Kevin melihat jam tangannya. "Sepertinya yang lain sudah turun beberapa waktu lalu."

Aku melihat sekitar, suasana pantry tampak lenggang, menyisakan sous chef dan ass chef de partie  beserta alat perang mereka.

"Oke."

Kami berjalan melalui pintu belakang, melalui taman asri yang menghubungkan koridor dengan kantin hotel. Meski letaknya di belakang, rumput hijau dan beberapa pohon palm tumbuh dengan baik di sana, masih layak disebut taman. Hiburan tersendiri untuk pegawai sepertiku—katakan saja begitu.

"Ah, itu Adel dan yang lain." Aku berjalan dengan semangat menuju ke arah empat orang itu; Adel, Tere, Jason dan satu gadis yang aku tak kenal.

"Hai, Sayang. Aku merindukanmu." Jason merentangkan tangan dan bersiap memelukku.

Aku berdecih. "Bicara sama tembok sana!"

"Del, bisa kita tukar tempat?" duduk menyembunyikan wajah dalam kedua tangan, mengabaikan kekehan Jason di seberang. Baru tiga hari di sini dan aku sudah mengalami stress.

"Tukar tempat bagaimana?" suara Tere menyahut.

"Hari yang berat?" Adel menambahkan.

"Kenapa dunia begitu kejam?" gumamku.

"Jangan berlebihan! Ada apa?" Adel menepuk ringan bahuku.

"Masalah dengan nenek lampir tadi?"

Ingin rasanya tenggelam di segitiga bermuda, pertanyaan Jason membuatku merutuki kebodohanku. "Ini memang salahku."

Sunday (You Are My Favourite Taste)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang