"Hei, apa yang kamu rasakan?"
Kecemasan dalam suaranya menyambutku dari mimpi buruk. Kuedarkan pandangan sembari mencoba mengingat apa yang terjadi. Setelah mendapatkannya, rasa pusing dan berputar-putar mulai menghantam. "Apa aku tadi tenggelam?"
Daniel memeriksa suhu tubuhku sebelum mengambilkan segelas air putih. "Tidak, kamu hanya pingsan. Mau makan sesuatu?"
"Tidak. Ini pukul berapa? Bukannya kita harus pulang?"
"Pukul sebelas." Daniel menghela napas panjang. "tentu, setelah kamu sudah baik-baik saja."
Aku mengangguk. "Tapi, kenapa aku pingsan?"
"Mungkin karena tadi kita akan berciuman?" kedua alis Daniel naik turun seiring dengan senyum jahilnya. "Mau melanjutkannya?"
Ya, Tuhan. Mungkin kalimat seperti itu wajar untuk spesies perempuan seperti Clara yang terbiasa dengan hubungan romantis. Kenapa justru menjadi horor jika itu untukku?
Titania, kamu tidak hidup di jaman prasejarah, kenapa sikapmu masih saja primitif?
"Jangan menggodaku, aku hanya pingsan bukan lupa ingatan."
Dipikir berapa kali pun, aku tak menemukan scene seperti itu dalam kepalaku. Jadi, bisa disimpulkan dia hanya berbohong.
Daniel justru tertawa lepas. Mengusap puncak kepalaku sebelum berdiri. "Baiklah, karena kamu sudah baikan, bagaimana kalau kita prepare buat pulang?"
Meski tidak puas dengan jawaban Daniel, aku tetap mengangguk. Mungkin hanya karena rasa takutku saja pada kolam yang membuatku pingsan.
Setelah berkemas dan merapikan diri, kulihat Daniel sudah menunggu di ruang tamu. Masih belum menyadari kehadiranku, pandangannya tak lepas dari ponsel di tangannya. Apa aku sudah pernah bilang, mode serius versi Daniel adalah pemandangan yang sedikit menakutkan? Entah apa yang dilihat pada layar ponselnya hingga membuat ekspresi yang biasanya selalu penuh kejahilan, kini terlihat berbanding terbalik.
"Hei, sudah selesai?"
Ekspresi pria itu kembali seperti biasa setelah menyadari kehadiranku. Kubawa langkahku mendekat setelah mengangguk dan memberikan seulas senyum. Daniel mengambil alih ransel ku sembari berjalan ke arah mobilnya. "Besok, shift apa?"
"Siang."
"Good. Aku akan mampir sebelum kembali ke Jakarta."
Mesin mobil mulai menyala, Daniel menjalankannya sebelum memastikan aku sudah memakai sabun pengamanku.
"Wait!" kuputar pandanganku penuh kepadanya. "Kuliah sudah mulai masuk?"
Daniel mengangguk. "Tugas dan kegiatan kampus sudah menunggu." matanya memberikan kedipan jahil seperti biasa. "Belajar yang rajin dan jangan nakal. Aku punya mata di mana-mana."
Dia bercanda tapi aku tidak sedang ingin melakukannya. "Kenapa mendadak sekali dan baru bilang sekarang!"
Rasanya begitu tidak rela hingga setelah kalimat itu terucap, baru kusadari suaraku terdengar naik satu oktaf. Sementara Daniel juga mungkin terkejut karena suasana setelah itu mendadak hening. "Maaf, sebenarnya masih dua hari lagi, tapi ada berita duka dari bibiku. Jadi—"
"—maaf. Aku tidak tahu. Seharusnya aku ..., aku turut berduka."
Dari sekian banyak sifat ajaib perempuan, sifat ini yang paling membuatku kesal pada diri sendiri. Tak jarang aku merutukinya yang terlalu sensitif. Hatiku. Tempat segala emosi bersarang dan selalu berperan dominan dalam mengambil banyak keputusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sunday (You Are My Favourite Taste)
Novela JuvenilDendam masa lalu membuatnya buta. Perasaan manis yang pernah singgah seketika berubah menjadi gelap. Ruang hampa itu hanya berisi kebencian. Kriss Alexander, sosok iblis rupawan yang sialnya masih menjadi bagian penting seorang Titania-mantan kekas...