3. Love; Shit!

131 16 67
                                    

"Titania!"

Langkahku terhenti sembari memejamkan mata. Kaki yang sudah menggantung di anak tangga ke dua, terpaksa kuturunkan kembali. Perlahan, kubalikkan badan hingga menghadap penuh pada guru paruh baya yang menatapku tajam. Aku heran, sejak pertama masuk Nusantara, Pak Indra dan aku tak pernah cocok satu sama lain. Seperti ada dendam kesumat dalam setiap pandangannya kepadaku.

Padahal aku sudah mengendap-endap agar lolos dari mata tuanya, tetap saja ketahuan juga. Sepertinya aku perlu belajar ilmu teleportasi.

"Bergabung dengan yang lain, lima kali putaran-sekarang!"

Aku menghela napas panjang sebelum beranjak. "Terima kasih, Pak."

Kulangkahkan kaki menuju lapangan, sudah terdapat sembilan siswa yang mulai berlari mengelilingi lapangan. Aku bergabung setelah meletakkan tas di tempat duduk memanjang berbahan dasar semen di bawah pohon.

"Pak Indra sepertinya sangat dendam padamu."

Aku melirik sekilas, Jason-siswa kelas XI IPS yang pernah satu kelas denganku saat kelas X. "Anggap saja dulu pernah terlibat cinta bertepuk sebelah tangan sama mama, trus ditolak, dendamnya sama aku."

Padahal aku mengatakannya asal, Jason sudah terbahak, membuat perhatian si tua itu ke arah kami. Aku tak menghiraukan, pun juga anak bandel yang masih berlari mengimbangi kakiku. Fokus berlari, tak memedulikan tatapan-tatapan dari beberapa murid yang menyembul dari balik jendela. Jika dulu aku memiliki rasa malu karena mendapat hukuman semacam ini, tidak untuk sekarang. Aku tak memiliki alasan untuk itu. Dia yang menjadi semangat dan rasa maluku sudah musnah bersama kepergiannya.

Aku terkekeh dalam hati, mengejek diriku sendiri yang bisa jatuh pada pemuda seperti dia. Sesak yang diberikan olehnya tempo hari sudah benar-benar membunuh rasa cintaku padanya. Bagaimana bisa dia berkata sejahat itu ketika bahkan hanya kecupan di pipi mampu membuatku marah berhari-hari padanya.

Pelacur kecil

Pelacur kecil

Pelacur kecil

Bisikan itu membuat tubuhku memanas. Mataku mulai memburam. Tidak! Aku sudah berjanji pada diri sendiri untuk tidak menangisinya lagi. Kumohon mata, jangan menjatuhkannya lagi. Aku menggeleng beberapa kali sembari menutup mata, mengusir memori dan bisikan itu. Namun, ketika membuka mata, satu tetes jatuh begitu saja. Cepat-cepat aku menghapusnya agar tidak ada yang melihatnya.

Setelah mendengar bunyi peluit, kami berhenti, berbaris, mengeluarkan kartu hijau dari tas masing-masing. Jason menyenggol lenganku.

"Sudah berapa banyak?" menaik turunkan alis sembari menunjuk kartu yang berada di tanganku dengan matanya.

Aku membuka kartu milikku dan melihatnya dengan malas. "Oh, damn it!"

Seketika Jason terkekeh di sebelahku. "Calm down, I'm with you." dia membuka kartu miliknya di depan mataku-hasilnya sama-pelanggaran yang sama dan jumlah yang sama.

Aku mendengus. Jason memang terkenal pembuat onar di angkatanku. Tidak heran jika pelanggaran yang dia buat selalu mencapai kolom maksimal. Lalu bagaimana denganku? Aku hanya kesulitan untuk berangkat lebih pagi, itu saja.

"Jason, Titania!"

Seruan Pak Indra menginterupsi kami berdua. Aku mendesah panjang, setelah ini pasti akan ada ceramah panjang lebar, dan benar saja, setelah melihat kartu hijau kami, suara dengusan keluar dari hidungnya seperti naga.

"Bapak bosan selalu bertemu kalian mengisi kartu ini-"

Hanya kalimat itu yang sampai di otakku untuk diproses dan dikeluarkan melalui saluran pembuangan. Aku benar-benar tidak membutuhkan kalimat semacam itu untuk menyadarkanku, kubiarkan Pak Indra berbicara apa pun dengan aku yang bernyanyi dalam hati, hingga senggolan Jason mengalihkan perhatianku. Aku hanya mengangguk kecil, entah apa yang diucapkan guru olahraga itu. Setelah itu kami diperbolehkan masuk.

Sunday (You Are My Favourite Taste)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang