22. (Un) Romantic Niel

87 16 9
                                    

Ciena benar-benar menghilang, maksudku dia tidak muncul lagi setelah pagi tadi. Aku baru sadar jika di sini hanya aku yang membawa ransel. Ciena tidak. Jadi, bisa kusimpulkan, gadis itu memang berencana meninggalkanku di sini, bersama kakaknya yang baru beberapa jam lalu resmi menjadi ... kekasihku.

Kekasih?

Rasanya ada yang menggelitik ketika mulutku menggabungkan nama Daniel dengan sebutan kekasih. Aku tidak tahu ini adalah euforia sesaat atau memang inilah yang kuinginkan dari hubunganku dengannya? Aku masih tak tahu pasti. Rasanya memang aneh, tapi seperti yang kubilang; aku justru menyukainya.

Daniel pria yang baik. Berbeda dengan Kris yang menimbulkan efek roller coaster, misterius dan mendebarkan hanya dengan memandang matanya. Daniel seperti bianglala; menenangkan dan memberikan efek magis seolah menenggelamkanku dalam banyak kenangan. Dua orang yang bertolak belakang.

OK. Lupakan Kris. Tak perlu lagi ada nama itu.

Daniel sedang istirahat. Saat ini masih pukul enam sore. Selepas dari kebun teh tadi, Daniel mengajakku berkeliling. Berjalan-jalan di hutan pinus, menaiki rumah pohon dan bercerita banyak hal di sana. Serta bereksplorasi dengan banyak hal yang berhubungan dengan alam. Aku mulai paham, dia sesederhana itu.

Kubuka lemari pendingin. Tadi kami membeli beberapa bahan makanan sebelum pulang. Kukeluarkan beberapa sayuran, kepiting, telur dan bahan-bahan lainnya. Aku tidak tahu apakah Daniel akan menyukainya atau tidak. Setahuku, dia bukanlah tipe pemilih makanan. Kubersihkan semua sayuran dan mulai memotongnya.

Tinggal beberapa hari lagi. Rasanya melegakan. Aku sudah merindukan sekolah. Suasana, teman-teman dan banyak hal yang biasanya kulakukan di sana membuatku ingin cepat-cepat mengakhiri masa magangku. Bahkan mungkin hukuman di pagi hari yang selalu diberikan Pak Andrew padaku.

Oh, apakah dia juga merindukanku? Memikirkannya membuatku merinding. Mungkin kalau si tua itu mengalami hilang ingatan, prosentasi bersikap baik padaku bisa terjadi. Ada yang bilang, aku pasti akan merindukan masa-masa ini ketika sudah beranjak dewasa. Tapi, masih di tingkat dua saja aku sudah merasakannya. Lupakan pada bagian merindukan guru olahraga, itu tidak termasuk. Setidaknya untuk sekarang dan satu tahun lagi, kurasa.

Menunggu capjay matang, kusiapkan penggorengan untuk membuat kepiting asam manis. Tadi sore sebelum Bu Dea pulang, aku sudah meminta tolong untuk membersihkam kepiting. Jadi, aku tinggal mengolahnya sekarang. Jagung dan bahan lainnya sudah siap. Kutumis bumbu dan bawang bombay, menunggunya hingga harum, baru kemudian kumasukkan kepiting. Aromanya cukup menggoda. Apalagi saat bahan pendukung yang berupa beberapa jenis saos ditambahkan.

Aku suka memasak. Meski tidak seenak resto bintang lima. Kata Bryan, "masih bisalah dimakan."

Memang sialan. Selain bermulut pedas, sikapnya juga sok dewasa. Itu menyebalkan tapi aku menyayanginya.

Suara Daniel membuat gerakan tanganku berhenti. Daniel berjalan dengan rambut masih berantakan, menuang air ke dalam gelas. "Kenapa tidak membangunkanku?" tanyanya setelah meneguk satu gelas air mineral.

Aku mengangkat bahu. "Sengaja."

Daniel duduk manis dan mengikuti gerakanku dengan matanya. Muka bantalnya terlihat lucu. Rambut hitam berombak menutupi dahi dan ekspresi bangun tidurnya yang masih menempel. Menopang dagu, dia berdecak, "kenapa?"

"Kamu tidurnya seperti orang mati." kuletakkan kepiting asam manis beserta capjay dan jus jeruk ke hadapannya.

"Sepertinya aku pernah mengatakan kalimat itu pada seseorang yang pernah numpang pingsan di kamarku waktu itu."

"Kakak!"

Daniel tergelak. "Memang begitu kenyataannya."

"Terserah." Aku duduk dan tidak memedulikannya lagi. Kuambil porsi makanku sendiri. Daniel menghentikan tawa, melihat lama pada menu makan di depannya. "Kenapa? Tidak suka?"

Sunday (You Are My Favourite Taste)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang