d u a

1.9K 33 11
                                    

Rabu pukul tujuh pagi, gadis yang dijuluki sebagai Ratu Budeg itu sampai dengan selamat di sekolah lebih awal dibanding biasanya. Alasannya karena Salma dapat jadwal piket hari ini, dan Anjel—sohib Salma yang satu itu akan menyentil ginjalnya jika telat barang satu detik pun.

Salma melenggang pergi sehabis bersalaman dengan sang ayah. Seperti biasa, earphone kesayangan tertancap apik dikedua telinganya. Musik berdendang, memenuhi pendengaran gadis itu.

Memenuhi yang benar-benar penuh. Ya, ia memasang volume full. Entah bagaimana nasib organ satu itu. Kalau kata Derik, "Pantes aja dia budeg. Rusak udah saraf-saraf di sana. Nggak peka lagi sama suara biasa."

Kalau kata Dewa, "Kayaknya si Salma bakalan kaya sih. Soalnya tambang emasnya pada longsor tiap hari."

Salma bodo amat. Yang penting dia senang karena musik yang ia putar merangsang dopamin di otak yang membuat harinya bisa jadi lebih baik. Atau pula membuat dia bisa mendalami rasa sedih jika memang waktunya. Kalau kata orang, "Pas senang lo akan nikmatin melodinya. Tapi kalo pas sedih, lo akan ngerti liriknya."

Memang Salma akui, itu memang benar. Pernah satu kali ia menyetel lagu yang ber-genre pop saat belajar. Ia hanya menikmati melodi tanpa peduli lirik. Lalu, ketika ia galau, musik itu terputar dan seketika ia mendalami tiap kata yang ada. Membuatnya semakin ambyar lalu sadar, ternyata lirik lagunya begitu sedih dan menyentuh.

Salma mengambil langkah sambil agak melompat. Lagu Domino milik Jessie J seketika membuatnya ingin menari. Ketika langkah ke dua puluh satu, ia berhenti di tempat. Ada yang aneh, menurutnya.

Ia menengok ke belakang dengan cepat, lalu mendapati beberapa kerumunan siswa tampak seperti tertangkap basah olehnya. Gelagat mereka begitu mencurigakan. Salma mencoba mengabaikan dan terus berjalan. Kali ini ia awas dengan sekitar, dan hasilnya, beberapa kali gadis itu menangkap netra mereka yang terang-terangan menatapnya dengan pandangan tak suka.

Apaan nih?

Salma memelankan volum musiknya sambil mengambil langkah. Kini, bisik-bisik terdengar. Tentu saja tidak jelas karena earphone menghalangi suara mereka menyambangi gendang telinga gadis itu.

Gue nggak salah baju 'kan?

Ia memeriksa penampilannya. Tidak ada yang salah. Lalu, mengapa ia merasa sangat diperhatikan? Apa jangan-jangan wajahnya hari ini berubah? Sontak ia mengambil ponsel dari kantong seragam dan menyalakan fitur kamera.

Lah, tetep cantik kok. Apa mereka baru sadar kalo gue secantik ini makanya pada ngiri?

Kali ini, ia berhasil menjejalkan kaki di depan pintu kelas. Salma langsung melepas kedua sepatu dan menaruhnya di rak. Netra gadis itu menangkap seseorang yang tampak menelungkupkan kepala. Satu-satunya orang yang hadir di kelas ini.

Itu Anjel, dan dia...

Nangis?!

Dengan langkah tergesa, gadis itu menghampiri Anjel yang tengah terisak dengan bahu naik-turun. Salma mengelus punggung Anjel. Menyalurkan kekuatan. "Ini gue, Njel."

"Nggak papa, nangis aja. Keluarin semuanya. Gue di sini, nemenin lo."

Dan setelahnya, hanya isakan kencang yang mengisi atmosfir kelas pagi itu.

Hyper ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang