[ L I M A ]

3 1 0
                                    

<><><><><><><>

¤¤¤
"Ra, udah jangan nangis lagi" lirih Iyan. Sedingin dinginnya Iyan, bila tentang keluarganya ia akan luluh. Hatinya yang mirip bongkahan es akan mencair begitu saja. Terlebih lagi bila menyangkut dengan adiknya. Iyan sangat sayang dengan adik mungil perempuan. Karena semenjak kecil ia sudah ingin mempunyai adik perempuan, alasannya ia ingin menjaganya dan melindunginya sebagai seorang lelaki.

Ara masih menangis dipelukan Iyan, saat Iyan mengantarkannya ke kamar dan membaringkan Ara namun Ara langsung memeluk Iyan dan menangis disana. Iyan diam saja diperlakukan seperti itu, toh adiknya butuh pendengar dan butuh seseorang untuk menemaninya.

"Ra, cerita sama gue. Kenapa lo nangis? Ada yang nyelakain lo? Iya?" Tanya Iyan lagi. Ara mendongak dengan wajah yang masih dibanjiri tangisan.

"Afa bentak gue" lirih Ara kembali memeluk dada bidang Iyan.

"Terus dia yang bikin kaki gue perih. Dia yang jatuhin sup yang masih panas ke kaki gue. Dia yang bilang kasar ke gue. Dia yang bentak bentak gue. Dan dia juga yang ngelempar semuanya kearah gue...,, gue gak pernah digituin Yan. Gue gak mau lagi. Gue takut" jujur. Ara memang tidak pernah dibentak seperti itu. Ia hanya dinasehati, diomeli semenjak kecil hingga sekarang. Ia pernah mendapat bentakan tapi tidak seperti ini. Seseorang membentaknya dengan diselingi kata kata kasar yang keluar. Terlebih lagi orang itu orang yang sangat disayanginya. Dan karena itulah rasa kecewanya ia lampiaskan disaat menahan perih dan menahan tangis.

Iyan mengeraskan rahangnya. Mendengar nya saja sudah ngilu, apalagi yang merasakannya. Kalau saja Afa berada didepannya percayalah, auto rumah sakit. Bogeman pasti akan dilayangkan langsung kewajah bak dewa itu.

"Tenang ya Ra, lo tidur aja" Iyan melepaskan pelukannya lalu membaringkan Ara dan menaikkan selimut sampai dada Ara. Terakhir ia mematikan lampu karena kebetulan ini sudah jam setengah sembilan malam. Walaupun  biasanya Ara bukan jam segini tidur, namun Ara bila istirahat sudah terbiasa mematikan lampu. Dikecupnya juga kening Ara agar gadis itu merasa nyaman dan tertidur.

"Good night Ara"

¤¤¤
Dua makhluk hidup, yang masih bernafas, kedip, dan jantung yang masih bergerak terlihat sedang berdiam diri mencoba menyibukkan dengan kegiatan masing masing.

Entah berapa jam mereka disana, diruangan putih berbau obat obatan yang tak enak bila dihirup. Efa dan Afa sedari tadi tidak berbicara apa apa. Efa yang melamun entah memikirkan apa dan Afa yang melamun memikirkan Efa dan dirinya dimasa depan. Anggap saja keduanya dalam keadaan halu. Halu dalam bentuk berbagai macam jenis.

"Fa" panggil Afa. Ia berjalan menghampiri Efa lalu menyelipkan rambut Efa kebelakang. Lihatlah! Bahkan ia menyentuh rambutnya saja ia tak sadar.

"Efa" panggilnya lagi dengan menepuk pundak Efa membuat sang empu terkejut hebat. Efa mengerjap detik berikutnya ia tersadar dan buru buru menatap sekeliling.

"K-ak Me-yy m-ana?" Tanyanya lirih. Ia kembali melirik dengan kedua matanya. Tak ada. Ia menengok Afa seolah menunggu jawaban dari Afa. Namun pria itu tak menjawabnya ia malah memeluk dirinya dan terisak pelan sembari mengelus ngelus punggung Efa

"Gue yakin lo kuat Fa. Gue yakin. Ikhlasin Fa. Ikhlasin. Semua udah takdirnya. Semua udah direncanain sama Allah. Lo harus terima itu Fa" Afa melepaskan pelukannya dan menggenggam tangan Efa kuat. Terlihat jelas oleh Efa pria didepannya ini menangis. dan ia baru sadar. Ia tadi melamun mengingat kenangannya bersama Meyra. Efa menutup mata. Ia mengingat semua kejadian tadi. Mengapa ia baru sadar? baru menyadarinya?. Ia mengingat dimana tadi ia menangis dipelukan Mey karena habis putus cinta. teringat ia menonton drakor kesukaan Mey, dan terakhir ia mengingat ia dan Mey panik mencari air untuk memadamkan dapur yang dikerumuni api api tak memiliki hati membakar semuanya termasuk Mey. Kakak tersayangnya.

garis takdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang