"Wajahnya baik, apa kau yakin dia?"
"Kau tahu? Penjahat paling berbahaya sekali pun bisa berkeliaran dengan bebas menggunakan wajah polos nan lugunya."
---
Hippeter, 2020
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pada minggu ketiga November 2005, kabut kuning yang tebal menyelimuti London. Sejak Senin hingga Kamis, pemuda berusia 28 tahun bernama Jefferson Yang itu bahkan tak bisa melihat atap rumah-rumah seberang dari jendela kamarnya. Pada hari Senin, Jeff seharian membolak-balik naskah novel romansa yang telah dibuatnya sebulan lalu. Dua hari berikutnya, ia tenggelam dalam pemikirannya tentang musik pada abad ke-21. Lalu, keesokan harinya, setelah mandi pagi, ia mendapat panggilan mendadak dari sahabat karibnya di Seoul.
"Hey! Kau tidak pindah penginapan, 'kan?"
Suara cempreng dari seberang sana membuat Jeff harus menjauhkan ponselnya dari telinga. "Iya, ada satu tempat di daerah ini yang belum aku kunjungi. Kabut menghalangi aktivitasku. Memangnya ada apa?"
"Aku akan ke sana, segera kemasi barang-barangmu."
"Maksudmu? Aku baru tiba di sini tiga hari lalu, novelku belum selesai."
"Persetan dengan novelmu, Jeff. Taksiku sudah datang, aku akan menjemputmu."
Baru saja ingin melayangkan protes, sambungan teleponnya sudah terputus. Jeff mendengus kesal sambil mengacak pelan surai hitamnya. "Aku bahkan belum sarapan."
Hal pertama yang Jeff lakukan setelah melempar asal ponselnya ke atas tempat tidur adalah diam termenung. Otaknya tak berhenti memikirkan berbagai macam posibilitas yang menjadi alasan kedatangan Alfred Hwang secara tiba-tiba. Jika hanya untuk meyakinkan dirinya agar bergabung kembali ke Asan Medical Center atau menerima tawaran di SNU Hospital, Jeff merasa itu sangatlah sia-sia. Ia sama sekali tidak berminat. Pantang baginya untuk menarik ucapan.
Sekali lagi, Jefferson Yang bukan lagi seorang dokter ahli emergensi.
Dua tahun lalu, ia sudah memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya sebagai dokter spesialisasi penanganan emergensi atau yang biasa disebut pertolongan pertama pasien dengan kondisi gawat darurat. Pekerjaan berisiko besar yang memberikan trauma hebat dalam hidupnya. Mengingat bagaimana pertolongan pertama sangat menentukan nasib pasien setelahnya.
Menakutkan jika tanganmu menyebabkan seseorang harus kehilangan nyawa, bukan?
Jeff sering mengalami hal itu, terlalu sering hingga ia merasa gagal menjadi seorang dokter. Perannya yang dianggap sebagai penyelamat justru terdengar seperti bualan belaka. Jeff sadar bahwa maut memang sudah diatur Tuhan, tapi haruskah ada campur tangannya dalam kematian orang-orang tersebut? Bahkan, memikirkannya saat ini masih mengundang air mata dan rasa sesak di dalam dadanya.
Sembari menyeka pipinya yang basah, Jeff bergerak membersihkan kamar. Beberapa lembar naskah novel berjudul Fly Without Wings yang sebulan ini telah menyita keseluruhan waktunya, kini tergeletak begitu saja di atas meja.
"Alfred Handsome Hwang in the building! Tolong buka pintunya, Jeff!"
Dengan langkah malas, Jeff membuka pintu kamarnya. "Sepertinya, jarak bandara ke sini tidak ditempuh secepat ini," gumamnya pelan, masih terdengar jelas di telinga tamu dadakannya.
"Memang tidak, aku menelepon saat singgah sarapan di Monny Bakery."
"Hm, tidak bisakah kau datang lebih lambat lagi? Aku bahkan belum membereskan kamarku."
"Lebih baik kau sarapan dulu, aku sudah membeli Plain Waffle dan Hot Espresso untukmu. Biar aku yang mengemasi barang-barangmu."
Lantas kening Jeff mengerut setelah kalimat-kalimat Alfred berhasil memunculkan tanda tanya besar di atas kepalanya. Ada yang beda dari pemuda Hwang itu, perilakunya tidak seperti biasa. Jangankan membeli makanan, menyeduh ramen untuknya saja tidak pernah. Jangankan membantu pekerjaannya, menawarkan bantuan saja tidak pernah.
Lalu, mengapa dia mendadak datang jauh-jauh dari Seoul hanya untuk menjemput dan memperlakukannya dengan baik seperti ini?
"Kau tahu, aku tidak suka bertele-tele. Jadi, sebenarnya apa alasanmu datang ke sini?"
"Sudah ku bilang, aku ingin menjemputmu."
Helaan napas berat lolos begitu saja dari celah bibir Jeff yang terbuka. Sedikit kesal dengan jawaban yang diberikan Alfred. "Untuk apa?" tanyanya lagi.
"Membawamu kembali ke Seoul."
"Iya, tapi kenapa?"
Alfred terdiam, membuat lawan bicaranya harus menunggu dengan rasa penasaran yang semakin penuh. Hingga seulas senyum tipis terbit di wajahnya yang nampak lugu. "Karena kau harus pulang."
Suasana menjadi hening. Jeff berupaya menelan kekesalan yang menghantamnya detik itu juga. Jika saja pemuda berkacamata bulat yang sedang duduk di sofa itu adalah orang asing, mungkin Jeff sudah menendangnya keluar. Sangat menyebalkan. Ia jadi geram sendiri mendengar setiap jawaban dari pertanyaan yang ia lontarkan.
Jeff menarik mantel panjang berwarna putihnya, lalu berjalan menuju pintu. Alfred segera bangkit dari duduknya dengan mata yang tetap tertuju kepada Jeff. Merasa diperhatikan, Jeff menoleh dengan alis terangkat sebelah. "Kenapa melihatku seperti itu? Aku tidak akan ikut denganmu. Novelku harus selesai minggu ini."
Entah usaha apa lagi yang akan dilakukan Alfred agar tujuan utamanya dapat terlaksana. Ia tidak punya banyak waktu untuk membujuk Jeff pulang. Apakah ia harus memberitahu Jeff alasan yang sebenarnya? Tidak, Alfred merasa sangat ragu untuk itu. Namun, rasanya sudah tidak ada pilihan lain sekarang. Tidak mungkin juga ia hanya berdiam diri menatap punggung Jeff yang semakin menjauh.
"Jefferson!" Panggil Alfred, menyusul Jeff yang langkahnya telah terhenti. Ia mengamati air muka Jeff yang terlihat sangat jengkel saat berhadapan dengannya.
"Ada apa lagi? Aku harus pergi--"
Kalimat Jeff terputus ketika kedua telapak tangan Alfred mendarat di bahunya. "Kau harus pulang, Jeff. Pemakaman orangtuamu lebih penting dari novel itu. "
"Candaanmu sangat keterlaluan," ucap Jeff, melepaskan bahunya dari pegangan Alfred.
Kali ini Alfred membiarkan Jeff untuk memutar tumit dan beranjak dari hadapannya. Bukan dengan arah sama seperti sebelumnya, tapi yang sebaliknya. Jeff kembali ke kamar, seakan ia ingin meninggalkan pembicaraan ini di ujung jalan dan tak menoleh lagi. Ia memohon, di dasar benaknya yang terdalam, kalimat itu hanyalah sebuah candaan.
Di satu sisi, Alfred juga berpikir demikian. Ia juga berharap berita duka yang dibawanya bukanlah kebenaran yang harus digariskan semesta. Ia sama hancurnya, apalagi saat mengetahui jika pelaku pembunuhan itu berhasil lolos dan tak diketahui keberadaannya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.