Waktu sepertinya berlari agak terburu-buru, atau mungkin terbang dengan kecepatan maksimum melintasi angkasa. Tanpa sadar, sudah setengah jam Alfred mondar-mandir dengan gelisah sambil menggigit kuku jari tangannya, mengetuk-ngetuk perabotan, serta menggerutu tak jelas. Menyeramkan melihat perubahan sikap Jeff yang sangat tak terduga.
Sejak kembali ke kamar, Jeff hanya bergeming di tepi ranjang dengan tatapan kosong. Seakan jiwanya mendadak pergi, menembus kaca jendela yang ia jadikan pemusatan atensi. Namun, tidak lagi untuk saat ini. Pemuda itu mulai bergerak untuk menghabiskan sarapannya, membereskan barang-barang, lalu menanyakan jadwal keberangkatan mereka ke Seoul.
"Kau... baik-baik saja?"
"Tidak, aku tidak baik-baik saja," jawab Jeff dengan senyuman konyol yang semakin membuat Alfred pusing dan bergidik ngeri. "Aku ingin kembali ke Seoul secepatnya dan membuktikan bahwa ucapanmu hanyalah bualan."
"Taksinya sudah ada di luar, biar aku saja yang membawa tas jinjingmu."
"Tak perlu, aku bisa sendiri."
Alfred menjauhkan tangannya dari tas jinjing milik Jeff, lalu berjalan mendahului. Andai saja tidak dalam suasana duka, sudah dipastikan Alfred akan mengeluarkan candaan dengan menendang atau membanting tas itu ke lantai. Seperti yang biasa mereka lakukan.
"Kalian saling kenal?" Bisik Jeff setelah supir taksi yang menjemput mereka mengajak Alfred mengobrol dengan santai.
"Iya, dia asli Gyeonggi."
"Aku kira penduduk asli kota ini."
Taksi mereka melaju dengan pesat melewati jalan yang masih sepi, menuju Bandar Udara London Hearthrow yang akan ditempuh selama satu jam. Tak ada lagi konversasi yang tercipta, Jeff memilih untuk menenggelamkan wajah dalam mantel tebalnya. Alfred menatap ke luar jendela, memperhatikan tempat-tempat yang mereka lewati. Barangkali ada tempat yang menarik, bisa ia rencanakan untuk mengunjunginya suatu waktu jika libur kerja.
Menoleh ke kanan, Alfred menghela napas berat. Ia sudah tahu, berusaha terlihat baik-baik saja adalah salah satu keahlian yang dimiliki Jeff. Namun, untuk peristiwa semacam ini, hal itu tidak akan bertahan lama. Alfred yakin, bukit perasaan penuh luka dan sesak itu akan semakin meninggi. Seperti wadah yang kelebihan muatan, Jeff akan meledak dan berhamburan.
Dua tepukan pelan di pipi Jeff membuat kedua matanya sontak terbuka. Tak perlu ditanya, pelakunya sudah pasti pemuda berbibir tebal yang kini menatap intens ke arahnya. Decakan kesal ia jadikan sebagai protes karena tidur nyenyaknya yang terganggu. Sudah cukup Alfred mengajaknya mengobrol tanpa henti selama penerbangan tadi. Sekarang, yang ia inginkan hanyalah tidur hingga tiba di rumahnya nanti.
"Kau tak ingin turun?"
Jeff mengedarkan pandangannya ke segala arah. "Aku tidak punya urusan di sini," jawabnya kemudian setelah menyadari bahwa mereka berada di tempat kerja Alfred.
"Orangtuamu ada di dalam, tepatnya di ruang autopsi. Berhenti bersikap bodoh dan ikutlah denganku!"
"Omong kos--"
Sebuah potongan surat kabar mendarat di pangkuan Jeff sebelum ia berhasil menyelesaikan kalimatnya. "Kau bisa melihatnya sendiri jika tidak mempercayaiku," pasrah Alfred.
Setelah membaca isi berita yang dimuat dalam surat kabar itu, tak ada lagi alasan bagi Jeff untuk menyangkal ucapan Alfred. Memang begitulah kenyataannya.
Jeff mengepalkan tangan kuat-kuat, lalu berlari menyusuri lorong rumah sakit menuju ruang autopsi. Alfred yang baru selesai memperbaiki ikatan tali sepatu pun ikut panik dan berlari, takut jika saja emosi Jeff kehilangan kendali. Sesampainya di sana, ada dua petugas kepolisian yang menjaga di depan pintu, mereka menghadang langkah Jeff.
"Orangtuaku ada di dalam! Biarkan aku masuk!" Teriaknya, tak peduli jika harus menjadi pusat perhatian orang-orang.
Alfred segera menenangkan Jeff, menuntun sahabatnya yang saat itu jatuh berlutut di lantai menuju kursi tunggu yang berderet di depan pintu. Matanya terpejam erat untuk menahan air mata yang mendesak dikeluarkan. Jeff kembali merasakan betapa sakitnya ditinggal orang tersayang. Jagat rayanya bukan lagi terguncang, tapi hancur berantakan. Separuh nyawanya terasa menghilang detik itu juga. Ah, ralat. Bukan hanya separuh, tapi seluruhnya.
Setengah jam kemudian, pintu ruang autopsi terbuka. Sontak kedua pemuda yang larut dalam pilu itu berdiri tegak ketika seorang laki-laki berpakaian biasa menghampiri mereka.
"Anda dokter Jefferson, bukan?" Tanyanya, dibalas Jeff dengan anggukan lemah. "Saya Lee Minho, detektif yang akan menangani kasus kematian orangtua anda."
"Sebenarnya, kemalangan macam apa yang menimpa orangtuaku?" Lirihnya pelan sambil mengusapkan telapak tangan ke wajah.
"Kita belum tahu apakah kasus ini termasuk pembunuhan atau justru bunuh diri. Ada luka lebam di belakang kepala mereka, diduga muncul karena mengenai benda tumpul. Entah itu lemari, kursi, atau lantai," jelas Minho, lalu berbalik menatap laki-laki yang berada di belakangnya. "Wah! dr. Hwang! Saya mengira bahwa anda yang akan memimpin autopsi hari ini."
"Tidak, saya ada keperluan. Jadi, saya meminta dr. Kim untuk menggantikan saya," ucapnya setelah membungkuk ramah terlebih dahulu. "Bagaimana dengan hasil tes sidik jari yang ada di TKP? Di perjalanan tadi, aku sempat meminta petugas untuk membawanya ke laboratorium."
Minho melirik arloji yang melekat di pergelangan tangan kirinya. "Hasilnya akan keluar sepuluh menit lagi."
•...•
Let's meet our new character!
KAMU SEDANG MEMBACA
Can't See The End [Hyunjeong]
Adventure"Wajahnya baik, apa kau yakin dia?" "Kau tahu? Penjahat paling berbahaya sekali pun bisa berkeliaran dengan bebas menggunakan wajah polos nan lugunya." --- Hippeter, 2020