Yongdusan Park, Busan
10 Februari 2017Ini aku.
Dokter emergensi yang beralih profesi menjadi seorang novelis, Jefferson Yang.
Busan adalah kota kelahiranku yang tidak pernah mengecewakan. Lima tahun lalu, aku memutuskan untuk kembali ke sini setelah tujuh tahun meratapi nasib seorang diri di kota Weonju. Tak perlu aku jelaskan bagaimana akhir dari kejadian yang menimpaku waktu itu. Tidak ada bedanya dengan mimpi yang aku alami. Sekuat apa pun aku ingin mengatur ulang cerita itu, hasilnya tetap nihil. Aku tidak bisa. Semesta tidak mengizinkan. Tetap sama. Mereka semua meninggalkanku.
Bukannya aku menyembunyikan sesuatu, tetapi aku benar-benar tidak bisa melihat akhir dari semuanya. Aku melakukan hal yang sama seperti di dalam mimpi, lalu terbangun di rumah sakit. Suster bilang, aku pingsan di depan gedung tua itu dan baru siuman setelah lima hari. Apa sangat mengerikan hingga aku tidak bisa melihatnya?
Trauma? Jelas. Tujuh tahun aku menanggung semuanya sendirian. Tanpa penopang. Hingga akhirnya, Bibi Lee--sepupu dari ibuku--mendengar kabar tentangku dari salah satu temannya yang bekerja di pusat penerbitan novel langgananku. Beliau yang sedang sibuk mengurus butik di Busan pun langsung datang menjemputku. Jika bukan karena Bibi Lee, mungkin aku akan hidup seperti seonggok sampah tak berguna selama dua belas tahun ini.
"Kehilangan memang menyakitkan, sangat susah dihapus rasa sakitnya. Namun, kau juga berhak bahagia. Jangan buang-buang waktu lagi, lanjutkan hidupmu sebagaimana mestinya."
Sejak hari itu, ucapan Bibi Lee menjadi awal semangatku untuk memulai segala sesuatu kembali. Aku belum menemukan titik akhir, jadi perjalananku masih harus dilanjutkan. Kisah-kisah itu tidak berusaha aku lupakan, tapi aku simpan dengan rapi di laci memori.
Dalam rentang waktu lima tahun di Busan, aku mulai menulis dan menulis. Namaku kembali muncul di permukaan sebagai seorang novelis berbakat. Lalu, Bibi Lee menyarankanku untuk mengangkat kisah hidupku. Maka rentetan kisah pilu dan menegangkan yang pernah aku alami itu berhasil tertuang di dalam buku berjudul One Last Journey yang baru saja dirilis dua hari lalu.
Tak terasa, dua belas tahun telah berlalu. Jeritan Alfred dan suara letusan senjata api itu masih terdengar jelas di telingaku. Waktu benar-benar tak bisa menghapus memori akan kejadian singkat yang merenggut semua penopang hidupku.
Dari semua hal yang ada, aku masih mempertanyakan kenapa orang sebaik Changbin harus ikut terseret dalam sesuatu yang bukan bagiannya. Malam itu, aku baru saja mengenal Seo Changbin. Dan, aku kehilangannya hanya dalam waktu dua jam. Aku yakin, dia adalah orang yang sangat baik. Bahkan, Alfred menitipkanku padanya. Sudah jelas, ia sangat bisa dipercaya dan diandalkan.
Sangat bodoh rasanya aku pernah mencurigai Changbin, bahkan saat dia ikut membantuku mencari Alfred. Kenyataan pahitnya, akulah penjahatnya. Tanganku memang tak memegang pistol, pun bukan jemariku yang menarik pelatuk, tetapi rasa bersalah tetap menyerangku dari dalam bagai parasit. Ah, Seo Changbin. Maafkan aku. Hanya doa yang bisa aku berikan untukmu, semoga tenang di surga.
Lee Minho. Aku tidak menyangka bahwa dia adalah dalang dari kepergian bintang-bintang milikku. Perihal bagaimana dia mencelakai Chaeryeong, meracuni orangtuaku dengan jamur Amanita phalloides, menyekap Alfred di dalam peti berisi gas ricin, dan menembakkan dua peluru ke dada Changbin. Yang paling gila, mengakhiri hidupnya dengan tembakan di kepala hanya karena aku menyuruhnya pergi ke neraka.
Sepertinya memang aku yang jahat di sini.
Tak seperti biasanya, kali ini, kenangan tentang Alfred malah berujung pada amarah yang menggelegar di jiwa. Aku benci Alfred karena telah mengingkari janjinya untuk selalu ada bersamaku. Apalah arti janji itu, tatkala Alfred menutup pertemuan kami dengan ucapan selamat tinggal untuk selamanya?
![](https://img.wattpad.com/cover/211807930-288-k385042.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Can't See The End [Hyunjeong]
Przygodowe"Wajahnya baik, apa kau yakin dia?" "Kau tahu? Penjahat paling berbahaya sekali pun bisa berkeliaran dengan bebas menggunakan wajah polos nan lugunya." --- Hippeter, 2020