Part 1

26.5K 383 5
                                    


"Mbak Darmi, saya mau pinjam beras sekilo boleh? Lusa pagi akan saya ganti. Suami saya gajian besok." Aku tak berani menatap matanya yg nyalang itu, aku hanya bisa berbicara sambil menunduk berharap belas kasih nya agar anakku bisa makan hari ini.

  "Gajiannya besok, kenapa gantinya harus lusa? Kalau punya utang itu bayarnya jangan dinanti-nanti. Emang mau kalau saya pinjamin berasnya juga nanti-nanti?" ocehnya ketus.
Aku hanya mampu menahan sesak di dada. Sempat membathin kenapa setiap aku berbicara ia selalu ketus membalasnya.
Dengan rasa hati-hati aku menjawab pertanyaannya,

  "Iya, Mbak. Suami saya 'kan pulangnya jam 11 malam. Mau cari beras di mana Mbak malam-malam? Warung 'kan tutupnya paling lama jam 10."
  Mbak Darmi masuk ke rumah besarnya tanpa berbicara sepatah katapun lagi. Tak lama, ia keluar menenteng kresek hitam yang berisi.
 
  "Sekarang saya pinjamin Mbak Laras beras sekilo. Beras ini beras mahal loh, jadi gantinya juga harus dengan beras mahal. Saya nggak mau terima kalau beras bulog! Dan satu lagi, bayarnya tiga kali lipat. Jadi, Lusa pagi Mbak Laras harus mengganti tiga kilo beras kepada saya. Paham?" pintahnya sembari menyodorkan kresek berisi beras dengan satu jarinya.
Aku terpaksa menerima, karena sudah bingung mau pinjam kemana. Lusa, aku harus mengganti beras yang tiga kali lebih banyak dari pinjamanku.

••••••

Keesokan harinya, pukul 11 malam suamiku pulang. Seperti biasa, aku menyalaminya dan dia mengecup keningku. Lalu, ia masuk ke kamar untuk melepas rindu kepada putri kecil kami yang tengah tertidur pulas.
Saat kembali, suamiku sudah berganti pakaian. Aku menyendokkan nasi dan meletakkan seperempat telur dadar di piringnya. Alhamdulillah, suamiku memakannya dengan lahap tanpa banyak protes.

Setelah makan, aku mengikutinya berbaring di ranjang. Menunggunya untuk memberikan uang. Karena yang ada di pikiranku saat ini hanyalah mengganti beras Mbak Darmi. Tapi sudah hampir satu jam aku menunggu, suami hanya menatap gawainya. Sama sekali tak menyinggung masalah uang. Aku pun memutuskan untuk tidur dan mungkin besok pagi ia baru akan memberikan uangnya padaku.

•••••••

"Mas, aku minta uang. Soalnya semalam aku pinjam beras ke Mbak Darmi."

"Mas lagi nggak ada uang, Dek. Tinggal 10 ribu untuk isi minyak."

"Loh? Bukannya semalam Mas gajian?"

"Maaf, Dek. Mas lupa kasih tau. Semalam Nadira ke toko, katanya Ibu sedang sakit. Semalam aku izin pulang cepat untuk menemui Ibu, kasihan Ibu, Dek. Aku berikan semua gajiku pada Ibu untuk berobat."

"Tidak ada sisa sepeserpun untuk kita, Mas?"

Suamiku menggeleng lemah. Aku pun ikut lemas. Mataku berkaca-kaca, bagaimana aku akan mengganti beras Mbak Darmi?

Pagi itu aku kunjungi rumah Mbak Darmi, tanganku bergetar ketakutan. Perlahan aku memencet bel rumahnya, ia keluar dengan pakaian bagus yang membalut tubuh gemuknya.

"Mana beras?" telapak tangannya langsung menengadah. Sementara tangan sebelahnya bertengger di pinggang.

"Maaf, Mbak Darmi... Ibu mertua saya sedang tertimpa musibah, beliau sakit. Gaji Mas Arfan sudah diberikan kepada Ibunya untuk berobat." jawabku tertunduk.

"Saya nggak sedang interogasi tentang kehidupan mertua kamu, Mbak Laras. Saya tanya, mana ganti beras saya?" nada bicaranya sedikit meninggi.

"Maaf sekali lagi Mbak Darmi, saya belum bisa mengganti berasnya hari ini." Jawabku dengan hati-hati.

"Apaa???"

Aku tersentak mendengar suaranya yang melengking. Semakin takut berhadapan dengan salah satu orang terkaya di kampungku ini.

Tetangga BaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang