Part 4

10.7K 212 3
                                    

  Dua hari setelah kepergian Mas Arfan, Nisa jatuh sakit. Suhu badannya naik drastis, panas sekali dan ia juga muntah-muntah. Aku membawanya ke klinik, ternyata anakku harus dirawat.
  Kubuka dompet lusuhku, masih ada beberapa lembar uang merah sisa pemberian Nirmala, selingkuhan suamiku. Tetapi, aku tak ingin memakai uang darinya. Sementara Nisa harus secepatnya pulih.
  Dengan terpaksa kutinggalkan Nisa di klinik, dan pergi ke rumah Mbak Darmi. Lagi-lagi rumah besar ini yang menjadi tempatku meminta bantuan.

Mbak Darmi seakan sudah mengetahui kehadiranku. Ia muncul dari balik pintu dan seperti biasa menunjukkan wajah judesnya.

"Assalamualaikum Mbak Darmi."

"Ada apa Mbak Laras? Mau ngutang lagi? ngutang apa?" Ucap Mbak Darmi tanpa menjawab salamku terlebih dulu.

"Mbak Darmi, saya sedang butuh uang. Nisa sakit, harus dirawat inap. Tolong bantu saya, Mbak." Ucapku masih dengan sesenggukan.

"Maaf Mbak Laras, saat ini saya juga sedang tidak ada uang. Usaha suami saya sedang menurun."
Aku ikut sedih saat melihat wajah sendunya. Raut Mbak Darmi seperti tak pernah menipu. Baru kali ini dia berbicara sedikit pelan padaku. Kucoba mengerti keadaannya dan pamit pulang.

Hatiku gusar, kepalaku terasa berat memikirkan setiap masalah yang sedang menimpa keluargaku. Air mataku seolah tak pernah surut menggenangi pipiku.

Kulintasi rumah Amira, kulihat motornya terparkir di depan rumah.
Aku memberanikan diri mengetuk pintunya dan berniat meminta bantuan padanya.
  Cukup lama aku menunggu jawaban, akhirnya Amira membukakan pintu untukku. Rambutnya terlihat berantakkan, mungkin habis 'bangun tidur'.

"Eh, Mbak Laras. Ada apa ya, Mbak?"

"Maaf Mbak Amira, saya sedang butuh bantuan. Anak saya sedang sakit, dan harus dirawat. Saya butuh uang untuk membayar semua biayanya, Mbak. Apa Mbak Amira bisa bantu saya?"

Aku merasa sangat lancang, padahal kami baru kenal dan baru bertemu sekali saat ia datang kerumah ku membawa bingkisan. Tapi ini semua ku lakukan untuk Nisa, anakku.

"Oh begitu. Bisa kok, Mbak. Saya bisa bantu, Mbak. Tapi maaf ya Mbak, rumah saya masih berantakan. Saya ambilkan saja uangnya ya?"
Aku hanya mengangguk. Air mataku menetes haru. Karna masih ada orang sebaik dirinya.

Tak lama, Amira datang membawa segepok uang dan memberikannya padaku.
"Ini uangnya Mbak Laras. Mbak Laras ga perlu mikirin gimana balikin nya ke saya, yg terpenting sekarang keadaan anak Mbak membaik."

"Ya Allah, ini serius Mbak?" Amira mengangguk.

Aku sungguh tak percaya ini. Di wajahnya terlukis ketulusan yang mendalam. Allah mengirimkan malaikat tak bersayap untuk menolongku.
  Kupeluk Amira, ia membalas pelukanku. Untungnya dia tak jijik memeluk aku yang lusuh ini. Berulang kali kuucapkan terima kasih pada tetangga baruku itu, lalu bergegas ke klinik untuk melihat keadaan putriku.

Sesampainya di klinik, aku dibuat terpuruk dan hancur atas kabar meninggalnya Nisa. Duniaku hancur, sudah tak ada yg tersisa. Kenapa permataku harus diambil secepat ini? Ujian apa ini sebenarnya?

Kata dokter, Nisa keracunan. Apa yang telah dia makan? Apa dia jajan sembarangan saat aku sedang tidur siang? Ya Allah, kenapa berat sekali ujianku? Apa ini teguran dari-Mu karena aku telah membunuh orang tua kandungku?

Siang itu warga berdatangan ke rumahku. Mengucapkan bela sungkawa dan memberikan petuah untuk menguatkan aku. Masih terlihat di pelupuk mataku bagaimana aku mengurus putriku dengan hidup yg sangat terbatas.
   Putriku satu-satunya yang selalu ceria, penerang hatiku kala aku gundah, yang selalu membuat hatiku menghangat saat memandang wajah polosnya.
  Kini, hilang sudah putriku tercinta. Semoga kamu tenang di sana, Nak. Maafkan Ibu, Ibumu yang tak becus ini. Maafkan Ibu belum bisa membahagiakanmu, Nak.

Saat pengantaran jenazah ke  pemakaman, Mas Arfan datang dengan tergesa-gesa. Ia meraung sejadi-jadinya di sisi putri kebanggaan kami sebelum dimasukkan ke liang lahat. Ingin rasanya aku mengusir suami tak tahu diri ini, tapi apa boleh buat. Aku tengah berduka.

Sampai malam tiba, aku dan Mas Arfan belum saling bicara. Ia terlihat terpukul atas kepergian Nisa. Tapi semua sudah kehendak yg diatas.

Aku pun membuka pembicaraan dengannya.
"Puas kamu? Demi menemani Nirmalamu, kamu tinggalkan aku dan Nisa. Sekarang, Nisa sudah pergi, tanpa kamu di sisinya, Mas. Jika saja dia tau bagaimana perilaku ayahnya, dia pasti sangat membencimu saat ini. Saat dia sakit, kamu malah bersenang-senang dengan wanitamu! Apa kamu menyesal, Mas? Atau mungkin kamu malah senang kehilangan Nisa? Karena dengan itu aku akan lebih terpuruk dan kembali menjadi wanita gila seperti dulu?" suaraku begitu parau. Isakan tangis masih terdengar.

Mas Arfan mengangkat wajahnya, memandangku dengan mata sembab.

"Kenapa tidak ada satu orang pun yang mengabari Mas, Laras?"

"Untuk apa? Bukannya Mas juga tak akan peduli? Yang mas tahu, Mas senang dan bahagia bersama Nirmala. Mas, Ibumu sampai pingsan melihat jenazah putri kita. Ibu angkatku juga sangat terpukul atas kepergian cucu yang teramat ia sayangi. Kamu kemana, Mas? Memadu kasih bersama Nirmala? Dimana Nirmalamu, Mas? Kenapa Mas tak membawanya ke sini? Apa dia tak mau mengucapkan turut berduka cita untuk kita?" Racauku semakin tidak jelas. Hancur. Sangat hancur yg kurasakan saat ini.

Mas Arfan tak menghiraukan perkataanku ia pergi entah kemana. Sungguh, aku terpukul dengan keadaan ini. Apakah Mas Arfan belum juga sadar?

•••••••

Malam ini juga aku datang ke rumah Amira. Rasanya tak sabar memgeluhkan segalanya, tak tahan menanggungnya sendiri.
  Aku mengetuk pintu rumahnya lagi, dia keluar dan terkejut.
"Loh? Mbak Laras kenapa? Masuk, Mbak." Dia kaget melihat keadaan diriku yg sangat berantakan ditambah mataku yg bengkak.
Kuceritakan semuanya, tak ada yg terlewat. Air mata terus berjatuhan, aku belum bisa merelakan kepergian putriku.

"Mbak Laras yang sabar ya. Tuhan lebih sayang pada Nisa, Mbak. Maaf ya Mbak tadi saya tidak datang ke pemakaman, karena setelah Mbak pergi saya keluar karna ada urusan. Ini saja baru pulang." Ucapnya prihatin sambil terus mencoba menenangkan ku.

"Iya Mbak tidak apa-apa. Oh iya, saya boleh minta tolong lagi sama kamu, Mbak Amira?"

"Minta tolong apa, Mbak? Sebisa mungkin saya bantu."

"Saya ingin Mbak Amira membantu saya untuk mencari tahu siapa selingkuhan suami saya."
Duduknya seketika tegap, mungkin terkejut atas permintaanku.

"Memangnya, suami Mbak Laras selingkuh?" tanyanya penuh selidik.

"Ya, nama selingkuhannya Nirmala. Mbak, saya sangat butuh bantuan Embak. Saya bingung harus mengadu kepada siapa lagi. Kepala saya rasanya mau pecah. Suami saya sudah keterlaluan."

"Maaf Mbak sebelumnya, apa Mbak Laras nggak takut cerita tentang rumah tangga Mbak ke saya? Karena kita belum lama kenal."

"Tidak. Saya percaya penuh pada Mbak Amira." Jawabku sangat yakin.

"Baiklah, saya bersedia untuk membantu Mbak Laras." Ucapnya sambil tersenyum.
Senyumnya sangat manis, tapi seperti penuh arti. Entah kenapa setiap melihat Amira, aku seakan teringat pada selingkuhan suamiku. Mungkin karena aku terlalu banyak pikiran. Syukurlah, Amira lagi-lagi sudi membantuku.


TBC

Kunjungi profile penulis santiindh09

Tetangga BaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang