part 7

7.5K 205 3
                                    

Akhirnya Nadira, yang kutunggu telah datang.

"Assalamu'alaikum, Mbak Laras." Ucapnya sambil memakirkan vespanya.

"Wa'alaikumussalam, Nadira." Jawabku.

"Nadira mau antar ini, Mbak. Titipan dari Ibu." Nadira menyodorkan kepadaku secarik kertas yg terlipat, ntah apa itu.

"Oh iya, terima kasih ya. Masuk dulu yuk, Mbak bikinin minum. Ada cemilan juga sedikit di dalam."

"Nggak usah, Mbak. Nadira takut ninggalin Ibu lama-lama sendirian di rumah, keadaan ibu masih lemah. Nadira pamit dulu ya, Mbak. Assalamu'alaikum." Ucapnya pamit sambil mencium punggung tangan ku dengan sopan.

"Wa'alaikumussalam hati-hati jangan ngebut." Dia hanya tersenyum lalu berlalu dengan vespanya.

Nadira adalah adik kandung Mas Arfan. Gadis 20 tahun itu memang baik hati. Ditambah lagi dia telah hijrah sejak usianya 17 tahun. Auranya terlihat selalu bagus dan cantik. Senang sekali memiliki adik ipar sepertinya.

Tak sabar, kubuka perlahan kertas yang terlipat itu. Dan isinya membuatku tercengang, saat membaca tulisan yang bercetak tebal dibagian atas surat.

"Akta Jual Beli Rumah?"

Kubaca dengan teliti sampai selesai isi keseluruhan surat itu. Lalu mataku tertuju pada nama pembelinya, Nirmala Natamira. Sejenak aku tertegun dengan alamat rumah yang tertulis di sana.

"Alamat ini bukannya alamat rumah yang sekarang dihuni oleh Amira? Amira? Nirmala Natamira?"

Tak menyangka, sendiku berasa ngilu, dan akhirnya aku terduduk lemas. Berarti selama ini aku telah ditipu? Amira adalah Nirmala? Wanita yang ku percayai untuk memata-matai suamiku? Jadi Amira memata-matai dirinya sendiri?
Ya Allah, kenapa aku tak sadar? Pantas saja Amira malah membela Mas Arfan. Dia tak membenarkan perselingkuhan Mas Arfan dan Nirmala.

"Baiklah, Laras. Kamu harus tenang! Tenang, rileks. Hufh... Ya ya, semua ini adalah permainan kalian! Tapi aku tak akan gegabah. Aku akan mengikuti alur permainan kalian. Mas Arfan, Nirmala atau Amira, kalian akan hangus perlahan-lahan!"

Napasku sudah tak beraturan lagi, dada ini sesak untuk ke sekian kalinya, tanganku terkepal penuh emosi.
Tak terasa cairan bening menetes di pipiku. Aku tertunduk lemas.
Tidak! Aku harus kuat. Setelah kuketahui hubungan mereka, mereka juga berani mempermainkan aku! Dan selama ini secara terang-terangan mereka menunjukkan hubungan mereka di hadapanku.

Perasaan ini sungguh berkecamuk. Tidak ada yang bisa menenangkan hati perih ini.

Menjelang maghrib, aku berziarah ke makam putriku. Ditemani air mata ku yang terus menetes sepanjang jalan, dengan sendal tipis kumelangkah sampai ke makam Nisa.

"Nisa... Andai kamu tidak pergi deluan Nak, Ibu pasti tak menangis sendirian. Ayahmu menyiksa ibu nak. Apa kamu tak bisa kembali sebentar saja untuk memeluk Ibu? Menenangkan ibu? Ibu ingin berbagi kesedihan denganmu, melihat senyummu. Hanya senyummu Yanga selalu menghiasi hari Ibu, tapi kini semuanya suram. Ibu membenci Ayahmu. Ibu tak ingin sifat lama Ibu kembali, Ibu tak ingin menjadi wanita yang jahat seperti Bibi Nirmalanya Ayahmu. Tapi, keadaan memaksa Ibu menjadi wanita kejam, Nak. Entah, entah apa yang akan Ibu lakukan untuk membalas mereka. Nak, hari ini Ibu meminta izin padamu. Ibu ingin membalas perbuatan Ayah dan Bibi Nirmala. Ibu harap kamu tidak marah ke ibu, Nak. Ibu minta maaf, tak seharusnya Ibu dendam seperti ini, tapi mau bagaimana lagi?" Sudah tak sanggup lagi aku menahan sesak di dada ini. Dan malam ini ku tumpahkan semua air mataku di makan anakku, Nisa.

Semalaman aku tertidur di makam Nisa. Lebih nyaman dibanding tidur di rumah.

•••••

"Dek, bagaimana keadaanmu? Keadaan calon bayi kita? Kamu tak ngidam lagi hari ini?"

Tetangga BaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang