part 6

8.3K 193 1
                                    

Aku melihat Mas Arfan sedang bersantai, dan kucoba untuk memulai skenarioku.
"Mas, apa hari ini Mas akan bertemu dengan Nirmala lagi?" tanyaku. Ia hanya menoleh sebentar, lalu melanjutkan kegiatannya membaca koran tanpa menanggapi pertanyaanku.

"Mas, aku hamil."

Mas Arfan berpaling melihat kearah ku dengan bola matanya seakan ingin keluar mendengar penuturanku. Posisinya berubah. Kini ia berdiri menatapku seakan tak percaya.

"Bagaimana kamu bisa hamil?"

Plaakk!

Aku menamparnya. Pertanyaan yang bodoh, sudah jelas-jelas aku dan dia masih sah suami istri. Kami juga tak jarang melakukan hubungan intim sebelum hadirnya orang ketiga diantara kami.

"Kamu pikirkan sendiri Mas bagaimana aku bisa hamil. Kalau perlu, pikirkan juga anak siapa yang ada dalam kandunganku ini!"

"Aku bukan Nirmala yg bersedia memberikan tubuhnya untuk laki-laki yg sudah beristri." Sambung ku dengan nada mencemooh.

Ku tinggalkan dia sendiri dengan keterkejutannya atas kehamilanku. Aku masuk kedalam kamar dan melihat wajahku di cermin. Aku cantik.

"Wajahku ini mungkin kalah dengan Nirmalamu, Mas. Tapi dia tidak akan bisa lakukan apa yg bisa aku lakukan. Nirmalamu itu akan kehilangan dirimu. Kepura-puraanku tentang kehamilan ini akan membawamu terus bersamaku, dan akan membuat kamu lengah, saat itu terjadi aku akan mengungkap semua keburukanmu dan juga Nirmala. Aku akan menemukan buktinya bersama tetangga baru kita, Amira." batinku berbicara, sementara jari-jariku membelai wajah yang tak pernah terjamah oleh skincare ini.

"Dek?"

Aku terlonjak kaget dan hampir menjatuhkan cermin yg ada ditanganku saat Mas Arfan masuk ke kamar dan menegurku. Untung saja aku berbicara dalam hati.

"Iya, Mas?"

"Kamu beneran hamil?"

"Mas kenapa bertanya begitu? Harusnya kamu senang, Mas. Pengganti Nisa akan hadir."

"Tapi aku dan Nirmala akan segera menikah." Ucapnya dengan siratan tak terbantahkan dari kata-katanya.

Kutahan air mataku agar tak jatuh. Pernyataan itu membuat aku kembali murka. Tetapi, sebisa mungkin aku bertahan dan memainkan peranku.

"Baiklah. Kita akan bercerai. Tapi setelah anak ini lahir. Aku tak akan mengganggu kehidupanmu lagi, Mas. Aku harap kamu bersedia untuk menunggu. Kamu harus ingat bahwa anak ini darah dagingmu."

"Aku akan bicarakan ini dengan Nirmala terlebih dulu."

"Tak bisakah kamu menjaga perasaanku sedikit saja, Mas? Kamu terus saja menyebut namanya, mengkhawatirkan dia tanpa memikirkan perasaanku. Aku sedang hamil, Mas. Hiks hiks..."

Tumpah juga air mataku. Tak sepenuhnya murni kesedihan, karna saat ini aku sedang memainkan peranku.

•••••••

Hari demi hari kulalui. Sesuai permainan, Mas Arfan lebih sering di rumah menemaniku lebih tepatnya karna kehamilan ku ini. Aku menjalankan misi dengan sebaik mungkin, berpura-pura ngidam dan mual saat berdekatan dengan aroma yg sedikit menusuk dan itu berhasil membuat Mas Arfan semakin percaya jika aku hamil. Katakanlah aku licik, iya aku licik. Tapi aku tak akan begini jika mereka tidak mengusikku.

Kala itu, kudatangi rumah Amira. Wajahku kuatur sesumringah mungkin saat akan menceritakan tentang kehamilanku padanya. Aku sengaja tidak memberitahunya jika aku memiliki rencana ku sendiri dengan pura-pura hamil, karna aku sedikit mencurigainya, kenapa dia membela Mas Arfan dan juga Nirmala dengan mengatakan padaku mereka tidak memiliki hubungan apapun?

"Mbak Mir, aku hamil. Sudah masuk dua bulan. Aku tak sabar menunggu anakku lahir."

Dia sempat terkejut dengan perkataanku lalu ia coba tersenyum, dan itu terlihat, terpaksa? Kenapa dia terlihat tak suka? Ada apa dengan Amira?

"Oh kalo gitu selamat yaa mbak. Eee Mbak, saya sedang ada urusan. Maaf, bukannya mengusir, tapi saya harus keluar sekarang."

Kubalas hanya dengan anggukan dan tersenyum kepadanya dan segera pulang kerumah.

"Dek, Mas mau ke rumah Ibu. Mas rindu masakan Ibu. Kan selama hamil, kamu jadi jarang masak. Lagian, semenjak Ibu sakit aku juga tak pernah menjenguk. Hanya sekali saat kuberikan uang gajiku pada Ibu. Tidak apa-apa 'kan, Dek?"

Aku mengangguk mengizinkan. Biarkanlah dia pergi kali ini. Entah dia benar-benar ke rumah Ibunya atau pergi bertemu Nirmala.

Beberapa jam setelah Mas Arfan pergi ponselku berdering, panggilan dari Ibu Mertua.

"Assalamu'alaikum, Bu."

"Wa'alaikumussalam, Laras. Nak, tadi Arfan datang kemari, dia sempat makan dan mandi di sini. Ibu menemukan celananya tergantung di pintu kamar mandi. Ibu juga tak sengaja melihat sebuah surat di dalam sakunya. Ibu tak berani membukanya, Nak. Jadi surat ini Ibu berikan saja kepada kamu, ya? Nanti Nadira yang akan mengantarkan suratnya ke rumahmu."

"Oh begitu. Iya, Bu, antar saja. Siapa tahu itu surat penting milik Mas Arfan."

"Iya, Nak. Bagaimana kabarmu? Kata Arfan, kamu sedang hamil ya? Ibu senang sekali mendengarnya." Tersirat nada bahagia di ucapan nya saat membicarakan kehamilanku.

"Alhamdulillah Laras sehat, Bu. Bu maafkan Laras ya, sebenarnya Laras berbohong." Sedikit ku pelankan suaraku karna aku merasa bersalah telah menipu Ibu mertuaku.

"Berbohong bagaimana, Nak?"

"Mas Arfan selingkuh, Bu. Laras terpaksa berpura-pura hamil untuk mengecoh Mas Arfan."

"Astaghfirullah. Arfan selingkuh? Keterlaluan sekali anak itu!!"

"Itu sebabnya Laras terpaksa berbohong bu. Maafin Laras. Ibu jangan khawatir Laras akan hadapi ini sendiri bu. Ibu jangan sampai kepikiran dengan masalah ini yg malah ngebuat ibu tambah sakit. Tapi Laras mohon sama ibu untuk rahasiakan ini semua bu."

"Iya, Nak. Ibu sangat malu sama kamu Laras. Kamu yg tegar yaa menghadapi masalah ini, ibu selalu mendukung kamu nak. Kalau begitu sudah dulu ya. Ibu masih kurang sehat. Badan Ibu sakit semua. Nadira sudah menuju ke rumahmu."

"Iya, Bu. Semoga lekas sembuh. Jaga diri ibu baik-baik, ya. Assalamu'alaikum, Bu."

"Wa'alaikumussalam, Nak."

Sambungan telepon kumatikan. Aku menunggu Nadira datang untuk mengantar surat di teras rumahku. Kira-kira surat apa yang disembunyikan oleh Mas Arfan dariku?

TBC


Jangan lupa kunjungi profile penulis 😉 santiindh09

Tetangga BaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang