Chapter 3 - The Broken Door.

58 8 0
                                    

Matahari mulai condong ke arah barat, saat Airis masih berdiri di depan pos satpam seorang diri. Sebelumnya Airis bersama dengan teman-temannya menunggu jemputan. Tapi karena mereka sudah terlebih dahulu di jemput tersisalah dirinya yang masih setia menunggu sang supir yang tak kunjung datang.

Sekitar hampir setengah jam Airis berdiam diri di pos satpam akhirnya memutuskan berpindah tempat berhubung lingkungan sekolah sudah tidak ada orang lagi lebih baik dirinya menunggu di halte busway.

Baru saja mendaratkan bokongnya di sebuah kursi tiba-tiba ponsel yang berada di genggaman tangannya bergetar halus pertanda sebuah pesan masuk. Ia segera menekan tombol home dan melihat siapa yang mengirim pesan.

Assalamualaikum wr.wb..
Maaf mengganggu, doa bapak semoga sehat selalu untuk ananda Airis, lain dari pada itu maaf sebelumnya, Bapak tidak mengabarkan terlebih dahulu untuk info hari ini bapak tidak bisa hadir untuk menjemput ananda Airis di sekolah disebabkan Bapak harus segera menjemput Pak Arsen di Bandara.

Airis mendengus kesal setelah membaca pesan tersebut. Sia-sia sudah ia menunggu lama sampai gerbang sekolah di tutup jika pada akhirnya pulang sendiri.

"Harusnya gue tadi langsung aja naik umum." ujar Airis tepat ketika busway datang. Ia segera naik dan mencari tempat duduk yang kosong namun nihil tidak ada satu pun kursi yang tersisa sehingga Airis terpaksa harus berdiri bahkan ia tak mendapatkan pegangan.

"Wah benar-benar sial hari ini gue!" gerutunya dalam hati.

Ketika bus mulai melaju ia harus bertumpu pada kakinya agar tidak jatuh. Namun sopir bus terpaksa mengerem mendadak saat di depannya ada sebuah motor yang memotong jalan secara tiba-tiba, Airis yang tak berpegang pada apapun oleng dan reflek memegang bahu pria yang ada dihadapannya.

"Eh sorry..Sorry" kata Airis

"Iyaa gapapa." jawab pria itu yang langsung beranjak dari kursi penumpang membuat Airis  sedikit mundur memberikan jalan, "Kita gantian tempat aja."

Airis menyerngitkan dahinya bingung.

"Iyaa gantian, kamu duduk disini aku aja yang berdiri."

"Eh nggak usah, gapapa gue berdiri aja."

"Santai aja lagipula sebentar lagi juga gue bakalan turun."

"O-ohh gitu thanks ya" ucap Airis langsung mendaratkan kedua bokongnya di kursi bekas pria tersebut.

Setelah mendapat kursi seperti biasa dimana pun berada Airis pasti mendengarkan lagu untuk menemaninya. Ia menyumpal telinganya dengan headset sambil memandangi jalanan dibalik jendela bus.

Lama berkutat dengan lamunan, Airis tidak sadar bahwa dia sudah sampai di tempat tujuannya. Ia pun segera bergegas turun dan dilanjutkan berjalan sedikit untuk sampai di depan rumahnya.

Tampaknya Pak Roni dan Papa nya sudah sampai di rumah melihat mobil hitam yang sudah terparkir rapih di perkarangan rumahnya. 

"Hallo Pak Ronii" sapa Airis pada sang supir yang sedang membawa ember berisi air.

"Eh neng.. maaf ya bapak tadi nggak bisa jemput."

"Gapapa pak tapi lain kali kasih info nya lebih awal dong pak biar aku ngga nungguin sama kalo ngirim pesan santai aja sama aku ngga perlu baku pak."

Sang supir menyengir, "Hehe siap neng tapi kalo bapak mah ngga bisa memang sudah terbiasanya mengirim pesan seperti itu."

"Yaudah deh terserah bapak, aku masuk dulu ya."

"Oh iya atuh bapak mau lanjutkan cuci mobil dulu."

Airis mengangguk lalu melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah dan ia mendapati Papa nya sudah berdiri tegap tepat di samping tangga.

"Papa kecewa sama kamu!" ucap Arsen dengan nada tinggi serta melemparkan beberapa lembar kertas ke wajah sang anak.

Tentu saja perlakuan tersebut membuat Airis terkejut sekaligus bingung. Pasalnya, Airis akhir-akhir ini tidak merasa sedang berbuat kesalahan apapun yang akan memancing emosi Papanya.

Airis berjongkok mengambil beberapa kertas yang berserakan di lantai. Isi dari kertas itu membuatnya terkejut, itu adalah sebuah foto dirinya dan Ibunya yang sedang bercengkrama bersama.

Sebenarnya Airis sudah memprediksi akan ada peristiwa seperti ini tapi ia tidak pernah menduga bahwa akan ketahuan oleh Papa nya secepat ini.

"Bisa dijelaskan apa maksud dari semua foto-foto ini?!"

"Nggak ada yang harus dijelasin lagi karena udah jelas dari foto itu pasti Papa juga udah ngerti sendiri kan." ujar Airis memasang wajah datar.

"Kenapa kamu harus menemui wanita itu lagi Airis!"

"Emang salah ya aku ketemu sama Mama aku sendiri?"

"Salah besar! Kamu sudah janji dengan Papa tidak akan pernah menemui wanita itu lagi dan ternyata selama ini kamu sudah membohongi dan mengingkari perjanjian kita dengan bertemu wanita itu diam-diam."

"Kenapa sih aku nggak boleh ketemu sama Mama?! Dimana salahnya kalo seorang anak ingin merawat ibu yang sudah melahirkan Airis?!" pekik Airis penuh dengan kemarahan.

"Papa sudah bilang bahwa tugas kamu itu hanya belajar mempersiapkan masa depan kamu bukan merawat wanita sialan itu! Mengurus dia itu merupakan urusan saya jadi kamu tidak perlu ikut campur!"

"Nggak bisa! Aku berhak ngurus Mama!"

"Airis jangan buat Papa semakin kecewa berat sama kamu!"

"Harusnya aku Pa yang bilang kaya gitu. Rasa kecewa yang Papa rasain gak seberat yang aku rasakan. Anak mana yang gak kecewa melihat ayah kandungnya sendiri lebih ngurusin selingkuhannya daripada istri sah nya yang lagi sakit? Jadi urusin aja perempuan yang sering Papa bawa ke rumah itu daripada ngurusin Mama karena Papa gak akan becus!"

Plak!

Airis menyentuh pipi nya yang terasa panas, dia baru saja ditampar oleh Arsen, Papa nya sendiri. Ia menyeka sudut bibirnya yang sudah mengeluarkan darah segar.

"Mulut kamu yang tidak berpendidikan  pantas mendapatkan itu!" hardik Arsen langsung pergi meninggalkan Airis sendirian.

Airis meremas kertas-kertas yang ada digenggamannya sampai sudah tidak berbentuk lagi. Setelah Arsen pergi, Airis tak kuasa membendung lagi air matanya sebab  sejak tadi ia benar-benar menahan amarah  agar tidak terlalu meledak karena jika Airis tidak menahannya mungkin ucapannya tidak akan terkontrol dan itu akan lebih menyakitkan Papanya.

Ini yang dia benci. Mudah menyesali atas apa yang terjadi. Airis tidak menyesal dengan menemui Mamanya, tapi ia menyesal sudah melontarkan kalimat yang tidak pantas di ucapkan untuk Arsen. Meskipun dalam pikirannya berkata bahwa Arsen memang pantas agar sadar diri tapi tetap saja jauh dari lubuk hatinya paling dalam ia tidak ingin menyakiti perasaan Arsen karena bagaimanapun pria brengsek itu tetap Papanya yang harus dia hormati.

Airis segera menghapus bulir air mata yang turun sebelum mengirimkan sebuah pesan singkat pada seseorang yang sangat ia butuhkan saat ini.

"I need you."

Metafora WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang