Eps 7

8.1K 562 3
                                    

Matahari semakin terlihat menenggelamkan diri di langit. Meninggalkan sebuah jejak warna yang membias dan membekas. Desiran angin sengaja membelai wajahku yang dingin terkena tetesan air mata. Aku kembali pada diriku yang rapuh, sunyi, dan sendiri.

Beberapa kali aku menguatkan hati, yang ku rasa hanyalah sebuah sakit yang tidak bisa berakhir begitu saja. Betapa sempit dan tidak ikhlasnya aku menghadapi kenyataan ini, begitulah hati ini selalu dapatkan kekecewaan.

Aku menatap senja sore ini dengan mata yang tidak berhenti mengeluarkan air mata. Mengingati perlakuan Mas Najib yang selama dua hari selalu keluar dari villa untuk menemui Ashima.

Aku tidak sengaja membuka chat dari hp Mas Najib yang tertinggal di atas meja saat dia keluar rumah. Sebagai seorang istri, aku merasa berhak untuk membukanya. Serta mengetahui apa yang ada dalam isi hp suamiku.

Betapa kecewa dan terlukanya aku, ketika liburan ini Mas Najib rencanakan untuk bertemu dengan Ashima.

Pantas saja, Mas Najib bersikap seperti tidak biasanya saat Umi membuat keputusan untuk honeymoon kami. Dia tidak menolak atau menggerutu seperti biasanya. Sebaliknya, dia malah terlihat senang akan liburan.

Aku tidak tau bahwa Ashima juga diberitahu kalau kami akan keluar dari rumah.

Aku.. aku sungguh tidak habis pikir apa yang ada dalam pikiran Mas Najib. Apa salahku padanya sehingga dia tega melakukan ini kepadaku?

Dia dengan teganya di luar sana bersama Ashima dan meninggalkanku di dalam villa ini sendirian.

Ya Allah, harus bagaimana lagi aku menghadapi ini? Aku sudah sangat ingin menyerah menghadapi sikap Mas Najib. Kali ini, dia sudah benar-benar membuatku hancur.

Aku ingin pulang ke rumah. Ingin bertemu dengan Ibu dan mengeluarkan semua keluh kesahku. Aku ingin menceritakan bahwa pernikahan ini begitu menyakitkan bagiku. Mas Najib tidak bisa mencintaiku. Dia tidak bisa menghargai keberadaanku. Yang ada dalam hati dan pikirannya adalah Ashima.

Hanya Ashima lah perempuan yang dia cintai satu-satunya. Yang dia harapkan menjadi seorang ibu bagi anak-anaknya.

Siapalah Nasya ini, Bu. Siapa?!

Aku memeluk erat kedua kakiku, membenamkan kepalaku diantaranya dan kembali menangisi semuanya.

Meski aku tau bahwa menangis tidak akan pernah menyelesaikan masalah, tapi tidak ada yang bisa ku lakukan selain ini. Serta aku berharap setelah tangis ini reda, aku bisa menerima semua kenyataan pahit ini.

"Allahu Akbar.. Allahu Akbar.."

Terdengar suara adzan yang baru dikumandangkan. Aku mengusap air mataku, bergegas masuk rumah dan menutup pintu balkon lantai dua. Lalu turun ke lantai bawah.
Sebentar lagi, biasanya Mas Najib pulang ke rumah. Aku harus cuci muka lebih dulu agar tidak terlihat seperti orang baru menangis.

Ku hela napas berulang kali untuk siap menghadapi Mas Najib. Ku lihat hp Mas Najib yang tergeletak di atas meja. Mengingatinya membuatku dadaku sesak begitu saja.

Sebaiknya aku ganti pakaian, lagipula aku sedang tidak sholat. Aku ingin terlihat fresh di depan Mas Najib.

Aku mendengar suara pintu yang ditutup dengan kasar. Dengan segera aku berjalan keluar kamar untuk menyambut Mas Najib.

"Sudah pulang, Mas" aku menyalaminya.

"Mas Najib sakit?" tanyaku. Tangannya panas, wajahnya terlihat pucat. Dia diam, tidak menanggapi tanyaku.

"Mas Najib demam?" Dia melepas tanganku dan berjalan memasuki kamar. Aku mengikutinya, takut-takut kalau Mas Najib pingsan secara mendadak. Karena jalannya sedikit pelan dan sempoyongan.

Dua Keping Rasa (Close PO)√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang