Eps 10

8.8K 510 9
                                    

Aku memandang jalanan dari balik kaca mobil. Pepohonan seperti sedang berlarian. Sesekali ku lihat beberapa kucing berkeliaran. Memang menarik melihat pemandangan sederhana seperti ini, sepertinya memang banyak hal sederhana yang harus aku syukuri mulai hari ini.

Matahari cukup terik tapi beberapa dari mereka tetap bertahan di jalanan. Berjuang untuk mendapatkan uang untuk kehidupan mereka seterusnya.

Memang hidup itu jatuh bangun. Kadang bisa merasa sangat bersyukur, dan kadang juga merasa bahwa hidup itu melelahkan serta tidak adil.

Sebagian dari diri manusia yang paling mempengaruhi kebahagiaan adalah hawa nafsu. Kalau mampu dikendalikan pasti bakalan mampu mensyukuri setiap kehidupan, tapi kalau tidak maka dia malah akan menjadi boomerang untuk membuat hidup menjadi suram dan menyakitkan.

"Lagi liatin apa sih, Syaa?" aku masih fokus melihat pemandangan diluar sana, lalu menatap Mas Najib sambil tersenyum.
"Bagus, Mas pemandangannya"
"Apanya yang bagus? Kan cuman jalanan" dengan sesekali melihat ke arahku karena dia sedang fokus menyetir mobil.
"Iya tapi Nasya suka. Ternyata kehidupan itu bergerak bersamaan setiap hari tanpa henti, dan Allah ngeliat itu semua"
"Jadi?"
"Ya bikin Nasya makin bersyukur punya kehidupan yang lebih baik dari mereka yang nggak punya tempat tinggal" kataku sambil menatap kembali ke arah jalanan.
"Nasya juga kagum ternyata yang indah itu nggak cuman pelangi"
"Apa emang?" tanya Mas Najib. Aku kembali menoleh ke arahnya.
"Banyak, Mas. Pohon yang bergerak karena angin atau suara angin yang berhembus tapi nggak ada bentuknya. Atau kalau Nasya lagi liat Mas Najib ketawa. Itu indah" kataku sembari menatap lekat padanya.
"Hhooo jangan gombal kamu!" ish siapa juga yang gombal.
"Nasya nggak suka gombal, emangnya Mas Najib" tangan kirinya langsung bergerak mencubit pipiku.

Aku menahan tangannya dan mencoba melepaskannya.
"Iihhh Mas Najib fokus nyupir jangan nakal, pipi Nasya sakit!" keluhku.
"Hahaha!" Dia melepas tangannya dari pipiku, aku memeganginya dan menatapnya dengan wajah kesal.
"Mas Najib jelek" kataku sambil mengalihkan pandangan.
"Oh ya gapapa yang penting suami kamu" katanya tidak mau kalah.
"Sakit tau pipi Nasya, nanti tambah lebar gimana nih" sambil ku pegangi kedua pipiku.
"Hahaha kamu nggak nyadar itu badan mungil gitu?" Aku meliriknya sinis.
"Mas Najib ki mau ngatain badan Nasya kurus?" Dia menggeleng.
"Kamu sendiri yang bilang gitu" ah dia emang rese nih, untung aja lagi nyetir mobil. Kalau nggak aku pasti udah bales nyubit dia.

Handphone Mas Najib tiba-tiba berdering.

"Liat Syaa, siapa yang nelepon" dia menyuruhku mengambil handphone di dalam tas dan aku membongkar tasnya.

Aku melihat ke layar nama bertuliskan "Shima♡" tertera jelas, dan aku merasa nyeri seketika juga tubuhku yang mendadak melemas.

"Siapa Syaa?"

Mas Najib masih menyimpan nomor Ashima. Bahkan Mas Najib tidak punya nomor teleponku.

"Syaa?" Aku agak kaget karena Mas Najib menyentuh tanganku.
"Eh?" apa aku tadi sempat terdiam dan melamun?
"Siapa?" tanyanya lagi. Aku ragu menjawab, tapi ini kan handphone Mas Najib. Siapa tau Ashima memang punya kepentingan.
"Ashima, Mas"

Setelah aku menyebut nama itu, Mas Najib meminggirkan mobilnya dan berhenti.

"Angkat dulu" perintahnya padaku. Aku mengangkat teleponnya.
"Sini" dan menyerahkan handphone di tanganku pada Mas Najib, meski berat hati ini melakukannya.

"Iya, hallo?"
Aku melihat setiap detail ekspresi Mas Najib. Aku harap dia tidak akan memberi respon yang berlebihan agar tidak lagi membuat Ashima berharap, dan aku juga ingin Mas Najib mengatakan bahwa mereka harus mengakhiri hubungannya karena sudah ada aku sekarang.

"Aku nggak bisa, Shima"

Aku tidak tau apa yang mereka bicarakan. Semoga saja itu perihal hubungan mereka yang harus segera diakhiri.

Dua Keping Rasa (Close PO)√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang