Satu minggu telah berlalu dan aku menghabiskan awal tahun dengan mengurus beberapa surat dan persyaratan lain yang dibutuhkan untuk menyiapkan keberangkatan menuju Boston. Di sana aku akan memulai perkuliahanku, menggeluti hobi baru, yang mana aku tidak yakin akan mempelajarinya, dan yang paling utama adalah menyongsong hidup secara mandiri tanpa campur tangan orang tua. Lega rasanya bisa meninggalkan berita tolol rendahan yang selalu menghantuiku dimanapun kuberada, bahkan akibat berita itu setiap orang selalu memutarkan kepala-kepala mereka mengikuti ke arah mana kakiku melangkah, dan diantaranya berbisik penuh keingintahuan karena termakan berita.
Sejak saat Ibu menyuruhku untuk mengurus beberapa surat dan paspor keberangkatan, aku benar-benar terbiasa akan orang-orang yang mengawasiku sepanjang jalan, bahkan beberapa jurnalis tertangkap basah sedang memotretku dari kejauhan dan mengeksposnya di halaman pertama surat kabar. Kurang-lebih seperti ini bunyinya:
MARTHIN SAMUEL TELAH PERGI DARI RUMAHNYA. IA DIUSIR ATAU MENCOBA SOK TEGAR?
Artikel itu kudapati dari sebuah surat kabar yang kubeli saat perjalanan menuju terminal bus. Meskipun aku tak bangga namaku selalu muncul di halaman pertama, tetapi surat kabar itu laku keras. Aku menawarnya dari seorang penjual paruh baya yang bersikeras meminta harga dua belas kali lipatnya. Dan aku hanya perlu bilang, "Kalau tanpaku, koranmu tidak akan laku keras."
"Tidak ada pengecualian!" katanya bersikeras, "dan aku tidak meminta tanda tangan darimu juga." tambahnya ketika aku mencoba meraih pulpen dari sakuku.
"Baiklah, aku beli satu."
"Satu? Yang benar saja, nak. Seharusnya kau membeli semua surat kabar ini dari tokoku. Karena aku bosan melihat semua berita yang terus-terusan memuat tentang dirimu."
"Sebutkan harganya! Tapi aku tidak ingin jika dikalikan dua belas!"
Sang pemilik toko mendecakkan lidah, tetapi itu sama sekali merugikannya jika ia tidak menuruti perintahku. Surat kabarnya laris terjual dan membuat tokonya tutup lebih cepat daripada yang seharusnya. Dan kuakui, aku memang sedikit bodoh dan tidak memikirkan bagaimana caranya membawa tumpukkan surat kabar itu setelah membelinya, membuatku sedikit kewalahan dalam membawa. Sembari aku menjinjing surat kabar konyol itu, aku membaca halaman pertama yang terpampang jelas sebuah artikel tentang diriku.
Marthin terlihat pergi menuju toko pakaian eksklusif—Timothy Cloak & Fashion—pada pukul dua belas siang dini hari. Ini merupakan kali perdana Marthin muncul di mata publik sejak terakhir kali ia ditimpa kasus perihal masalah remaja di sekolahnya—SMU Kartileri—yang membuatnya dikeluarkan dari sekolah. Ia terlihat sedang mencari-cari beberapa jenis pakaian berlengan panjang dan mantel kulit yang cukup hangat untuk dipakai. Menurut jurnalis kami—yang tidak kami sebutkan namanya—mengaku mendengar percakapan Marthin terkait dirinya yang akan segera pergi dalam beberapa hari meninggalkan orang tuanya. Percakapan itu terdengar saat Marthin sedang membayar pakaiannya menggunakan cek yang sudah ia tulis sendiri kepada si pelayan toko. Ia juga meminta para pelayan toko menyiapkannya beberapa pakaian untuk menemani separuh musim dinginnya setelah ia tiba di kota tujuannya nanti. Setelah rekan jurnalis kami bertanya perihal kemana tepatnya Marthin akan pergi, namun para pelayan toko tidak bisa menjawab. Mereka bahkan tidak tahu jelas. Pasalnya Marthin memang tidak membocorkannya pada mereka, sehingga ini menimbulkan pertanyaan publik perihal dirinya.
Banyak asumsi menyebutkan bahwa Marthin telah diusir oleh orang tuanya karena benar-benar mempermalukan mereka, mengingat pernyataan yang dikemukakan oleh Zara Norma Palmer minggu lalu, bahwa anak itu sangat buruk dan mencoba mengusirnya dengan cara-cara tidak masuk akal—saat ia berkunjung ke rumah kediaman Tuan Matthew. (berlanjut ke hal. 6)
Aku mencoba membalik surat kabar itu menuju halaman nomor enam dan lanjut membacanya.
Menurut Zara, selaku staf direksi bagian keuangan di PT. Royal Transcendent, ia mengaku bahwa Tuan Matthew adalah orang yang cukup dikagumi, ia begitu bijaksana dan dapat menjadi salah satu contoh bagi semua komponen pimpinan perusahaannya. Tidak heran banyak yang bertanya-tanya mengapa anaknya begitu pembangkang dan selalu bersikap anarkis, jelas-jelas hal itu sangat bertentangan dengan pembawaan Tuan Matthew sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marthin
Fiksi Remaja[BUKU KEDUA DARI SERI VENDELA] [ON GOING] "Aku mewariskan seluruh harta kekayaan milik ayahku." Mungkin terdengar seperti menakjubkan, apalagi sebenarnya ayahku adalah pemilik perusahaan paling besar di Asia dan menanggung lima negara kecil yang mi...