"Cheers!"
Bersulang, saling unjuk gelas adalah tradisi pelepasan umur. Malam ini, genap usia Park Jimin 38 tahun. Cukup dewasa. Bahkan terlalu masak baginya untuk melajang ria.
Dia bukan lagi remaja puber yang dapat putus--nyambung dalam percintaan.
Park Jimin tidak cocok lagi main kucing-kucingan. Jika kebablasan bisa saja lelaki Park menua sendiri sampai akhir hidupnya.
Hhrgh, bisa ditodong nuklir Jimin kalau berani dia tidak membawakan cucu untuk ibunya di Busan tahun ini juga.
From: Omma
Jim, akhir tahun nanti pulanglah ke rumah!
Kami akan membahas perjodohan untukmu.
Dia masih cantik, walau telah beranak dua.
Tahun ini! Ini pun telah memasuki bulan ke 9. Dirundung pengap, bagaimana caranya Jimin dapat mengencani dan mengajak seseorang untuk menikah dalam 3 bulan?
Jaman sekarang, orang tak suka terikat dengan hubungan pasti. Kebanyakan cuma terlena hasrat, sebatas percintaan di atas kasur lalu bubar.
Sex---hamil---aborsi.
Siklus miris hubungan masa kini.
Konsekuensi yang ditawarkan ibunya pun sangat tidak masuk akal. Dia yang seorang perjaka, harus rela mengawini orang terpaut usia 9 tahun lebih tua nanti?
Bukan masalah fisik, ini menyangkut harga dirinya. Pada seorang janda dan bahkan punya anak dua?
Masalahnya, calon istrinya ini pun tidak memungkinkan lagi untuk beranak anak biologisnya. Siklus menstruasi pun bahkan telah berhenti di usia seumuran 47 tahun.
"Kami kira kau sudah jadi relawan saat ini." ledek Taemin, pria mulut lemas yang ditelpon Jimin tadi pagi.
"Maksudmu?" Jongin bertanya.
"Cih, kau ketinggalan berita? Dia menampung pengemis tadi pagi." seloroh Taemin menunjuk remeh ke arah Jimin.
Tak peduli, bahkan ogah membahas soal lelaki bodoh itu, Jimin menyulutkan api pada rokoknya.
"Pengemis? Sejak kapan kau dermawan sama orang lain? Kau kan terkenal paling pelit seangkatan fakultas teknik dulu."
Ada kala mulut Jongin kurang ajar, walau sepenuhnya tak salah namun Jimin kesal orang menyinggungnya perhitungan pada uang.
Uang itu miliknya, toh apa salah dia yang tak ingin menghamburkan?
"Bangsat kau." lontar Jimin geram, menatap ketus pada dua sobatnya. "Selesai makan kan? Pulang sana."
Dua pria itu terhelak, merasa aneh pada temperamen buruk Jimin malam ini. Toh, setau mereka lelaki itu jarang menanggapi guyonan mereka. Namun, kenapa dia serius sekali?
"Hei.. hei.. hei.. Jongin cuma bercanda, apa perlu diambil hati huh?" lerai Taemin, mencairkan perang dingin dua sobatnya.
"Kalian pun gak pernah bawa kado, sering numpang makan tapi kalian berani ngomong pelit?"
Jongin beranjak dari kursi, "Argh, sialan. Aku jadi tak selera."
Taemin merasa suasana pesta ini berangsur buruk. Dia menyinggung pundak Jimin, baru ini dia main fisik.
"Ada apa denganmu kali ini huh? Bicaramu menyebalkan!"
Jimin merotasikan mata malas, puntung rokong menyala disematkan ke sisi piring kosong.
"Kepalaku pusing, aku mau sendiri." putus Jimin mutlak, tak peduli jika dirinya dicap egois atau terburuk persahabatan mereka kandas.
Toh, sejak lama Jimin tau dirinya diperalat. Bersusah payah mengumpulkan pundi uang, malah dipakai 2 sobatnya untuk melunasi cicilan motor ninja baru yang bahkan tak pernah Jimin sentuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
KLANDESTIN | MINV
Random{segala hal, tokoh, karakter, alur hanyalah fiksi. Tidak boleh dikaitkan dengan kehidupan member asli.} Jimin si bujang tua yang akhirnya diberi hidayah oleh Tuhan. JM - Top TH - Bot