007. praduga

51 3 0
                                    

Langit mendung di Bandung sore itu seakan-akan mempertegas suasana hati Fiera dan Selena saat mereka tiba di depan rumah besar tempat Resya tinggal. Gerimis tipis yang mulai turun pun tak mampu mengalihkan pikiran mereka dari kekhawatiran terhadap sahabat mereka. Setelah pelayan rumah mengantar mereka ke kamar Resya, keduanya langsung melihat pemandangan yang membuat hati semakin berat. Resya yang biasanya penuh semangat, kini terbaring lemas dengan wajah pucat, selimut tebal menutupi tubuhnya.

Fiera menghela napas panjang sebelum mendekat, ia duduk di pinggir ranjang.

"Sya, gimana kabar lo?" tanyanya pelan, mencoba menenangkan diri meskipun kekhawatiran jelas terpancar dari suaranya.

Resya mengangguk kecil, mengangkat bahu seolah tak mau membuat mereka khawatir. "Baikan kok, Fie. Cuma masih lemes aja." jawabnya pelan. Suaranya serak, hampir seperti bisikan.

Selena, yang duduk di samping Fiera, memandang Resya dengan cemas. "Kok lo bisa sampai sakit kayak gini? Lo nggak pernah sakit parah sebelumnya sya. Gue sama Fiera udah khawatir banget tau gak?"

Resya tidak langsung menjawab, hanya menunduk sedikit dan memainkan ujung selimut yang menutupi kakinya. Tatapan matanya yang biasanya ceria kini tampak kosong, seolah ada beban yang tak terlihat namun terasa berat.

Keheningan itu membuat suasana semakin janggal. Fiera dan Selena saling pandang, mencoba menebak apa yang sebenarnya terjadi. Resya bukanlah tipe orang yang bisa diam begitu saja, apalagi ketika bersama mereka berdua.

Tak tahan lagi, Selena akhirnya melempar pertanyaan yang sedari tadi mengganggu pikirannya. "Ini pasti gara-gara Jendra, kan?"

Mendengar nama itu, wajah Resya langsung berubah. Dia cepat-cepat memalingkan pandangannya ke arah jendela, menatap tetes-tetes hujan yang mulai membasahi kaca. "Nggak, ini nggak ada hubungannya sama dia. Gue cuma... kecapekan aja," katanya tergesa-gesa. Namun, nada bicaranya jelas jauh dari meyakinkan.

Tiba-tiba, tanpa peringatan Resya bangkit dari tempat tidurnya dengan terburu-buru dan langsung berlari menuju kamar mandi. Suara muntah yang terdengar dari dalam kamar mandi membuat Selena dan Fiera terkejut dan semakin cemas.

"Lo denger kan?" Selena menatap Fiera dengan tatapan yang tajam. "Ini pasti gara-gara Jendra! Dia pasti bikin Resya stres parah."

Fiera hanya bisa mengangguk, masih mencerna kejadian yang baru saja terjadi. Resya yang mereka kenal selalu ceria dan tangguh, tapi kali ini semuanya terasa berbeda, seakan ada luka yang dalam, meskipun dia berusaha keras menyembunyikannya.

Saat Resya keluar dari kamar mandi, wajahnya lebih pucat dari sebelumnya, tetapi dia masih mencoba tersenyum meskipun jelas terlihat dipaksakan. "Gue nggak apa-apa, serius." katanya dengan suara yang hampir tak terdengar.

"Ini cuma maag biasa. Gue udah sering sakit kayak gini."

"Tapi lo muntah, Sya," kata Fiera penuh kekhawatiran. "Lo yakin ini cuma maag?"

Resya mengangguk cepat, mungkin terlalu cepat. "Iya, gue yakin. Lo nggak usah khawatir, gue bisa urus diri gue sendiri."

Selena tampak tidak puas, tetapi dia tahu ini bukan saat yang tepat untuk memaksa. "Sya, lo tahu kita selalu ada buat lo, kan? Kalau lo butuh ngomong atau apa pun, kita bakal dengerin."

Resya tersenyum kecil, tapi tidak mengatakan apa pun. Keheningan kembali mengisi ruangan, hanya suara hujan yang semakin deras di luar jendela.

- te amo 🌌-

Setelah meninggalkan rumah Resya, Fiera dan Selena berjalan bersama menuju halte bus. Hujan yang deras mulai mereda, hanya menyisakan genangan air di jalanan. Pikiran mereka berdua masih tertuju pada kondisi Resya yang terlihat jauh dari baik. Namun, Selena harus pergi lebih dulu karena ada urusan keluarga. Setelah berpisah, Fiera memutuskan untuk berjalan sendiri menuju warung bakso langganannya untuk membeli pesanan ibunya.

te amo || haechan leeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang