Strange Overtones: XI

4.9K 721 32
                                    


Hujan kembali mengguyur tanpa henti, Haechan berlindung di sebuah halte bus. Sepatunya lambat-lambat terpercik air sehingga sedikit lembab, untung saja hari ini ia memakai mantel suede tebal bewarna coklat dengan aksen khas Paddington. Ia meringkuk lebih dalam kala angin berhembus tanpa ampun. Ia menunggu taksi menjemputnya, sayang sudah hampir 30 menit tak juga satu taksi pun menghampiri. Ini adalah pelarian keduanya dalam sebulan terakhir, masih dengan permasalahan yang sama namun dengan orang yang berbeda.

Kali ini Haechan memutuskan untuk hijrah sebentar ke rumah sang kakak. Ia butuh menenangkan diri, pressure yang menghantamnya terlalu keras sehingga ia seperti sedang kesemutan selama sepanjang tahun. Mati rasa dan tidak tau harus berbuat apa. Hujan mengingatkannya ke hari dimana Mark dengan canggungnya mengajak makan malam dan berakhir dengan pria itu bersikap gentle melindungi dirinya dari terpaan hujan musim gugur, begitu membekas entah ada semacam kehangatan yang tertinggal sejak hari itu. Ah, terlalu dramatis jika dibayangkan namun ia ingat betul terpaan cahaya lampu dan kerlingan Mark yang menghipnotis. Seandainya aku sudah sadar sejak hari itu, hela Haechan sambil menyetop taksi dan buru-buru naik menghindari tetesan air hujan.

Suasana jalanan malam itu terlihat lenggang dari kaca-kaca taksi yang membawa Haechan menuju ke rumah Wendy, kakak perempuannya. Harusnya saat ini ia sedang bercengkerama di bawah selimut tebal bersama Mark, menonton film, mendengarkan turntable, mengganggu pria itu yang selalu saja sibuk dengan laptopnya, dan juga merasakan bibir Mark lamat-lamat membawanya ke distopia baru yang membuat Haechan bahkan tak ingat jalan pulang. Saat bersama Lucas mungkin dirinya merasa bahagia namun ketika bersama Mark ia tidak hanya merasa bahagia tapi seolah diberi kesempatan kedua untuk merasa punya masa depan. Mark tidak pernah menyepelekan passionnya, walau Mark terdengar sarkas dan seringnya ketus namun Mark selalu tau bagaimana ia membangun kepercayaan diri yang besar di dalam diri Haechan. Air mata menggenang di pelupuk mata. Haechan rasanya tidak kuat jauh dari pria sialan itu sungguh. Ia ingin membalas pengakuan Mark, ia juga ingin berteriak keras-keras kalau ia mungkin sudah jatuh di dasar hati Mark. Tapi kenyataan hidup seolah mempersulit semuanya. Ada saja yang membuat ia harus menunda dan mengenyahkan dirinya sendiri, well berkali-kali. Ini hampir tidak masuk akal namun semua terjadi dengan sendirinya. Haechan mendengus kesal dan menghapus air matanya mengingat rumah Wendy sudah terlihat dari jarak taksinya yang kian mendekat.

"Haechan, kau baik-baik saja?" Wendy menghambur menyambut Haechan yang baru tiba di rumahnya.

"Kak aku...." Haechan terbata menahan tangis, ia ingin memeluk Wendy saat ini juga namun jujur ia malu dengan kakak iparnya yang juga turut menyambut kedatangannya.

"Sudah malam, aku akan mengantarmu ke kamarmu, Okay?" Wendy menggamit lengan Haechan seolah tau dengan jalan pikiran sang adik. Ia segera memegang kemudi layar bak nakhoda dan menyelamatkan Haechan dari terpaan ombak dengan menggeretnya menuju kamar tamu.

"Kak, aku harus apa?" Haechan seenggukan di pelukan Wendy, Ia menyerah dan mencurahkan semua kesedihannya di pundak sang kakak.

Wendy tergetar mendengar tarikan nafas Haechan yang turun naik bersamaan dengan derai air matanya yang luluh lantak seolah air bah. Air mata seorang adik laki-laki yang selama ini selalu ia kenal sebagai pribadi yang easy going dan tidak banyak mengeluh. Wendy mengusap-usap punggung adik laki-lakinya memberi dorongan moril tak terhingga.

"Kak, apa aku ini betapa uselessnya hingga semua orang membuangku?"

"Sssst Haechan jangan berpikir seperti itu, aku, ibu dan jisung sangat menyayangimu."

"Benarkah?"

"Tentu saja! Sangat besar sampai kau tidak bisa melihatnya." Wendy melempar candaan ringan yang membuat Haechan tersenyum bahkan dalam tangisannya.

Strange Overtones (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang